Senin, 07 Desember 2015

apa dan bagaimana kepercayaaan dalam suku baduy


KEPERCAYAAN DAN HUKUM MASYARAKAT SUKU BADUY

Kepercayaan Suku Baduy
Kepercayaan masyarakat kanekes yang disebut sebagai sunda wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama buddha, hindu, dan islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang kanekes (Garna, 1993). Isi terpeting dari pikukuh (kepatuhan) kanekes tersebut adalah konsep tanpa perubahan apapun, atau perubahan sesedikit mungkin: 
“lonjor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung” 
(panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah kanekes sering kali tidak sama panjang. Tindakan dan perkataan mereka pun jujur, polos, tanpa basa basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar menawar. 
 Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kelima. Hanya pu’un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di komplek arca domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan air yang jernih, maka bagi masyarakat kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen. 
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat sunda secara umum sebelum masuknya islam.
Sistem kepercayaan yang dianut mayoritas suku baduy mengakui kepercayaan sunda wiwitan yang meyakini akan adanya allah sebagai Guriang Matua dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran nabi adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. 
Kewajiban dalam kepercayaan ada 5 upacara penting yaitu:
Upacara kawalu yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci oleh masyarakat baduy
Upacara ngalaksa yang dilakukan sebagai ucapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu setelah melakukan puasa selama 3 bulan.
Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merpatkan tali silatrahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah.
Upacara menanam padi
Upacara kelahiran.

Hukum Adat Leluhur Baduy
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat). Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un. Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya, hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi. Berikut sekelumit goresan perjalanan tentang beberapa aturan adat Orang Baduy.
Bulan Puasa/Kawalu
Upacara Kawalu, yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa, Karo, dan Katiga.
Saat Kawalu, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah mereka, terutama karena saat kunjungan bukan bulan puasa (Ramadhan) seperti yang dilakukan oleh umat Islam. Juga di hari Sabtu, bukan Senin atau Kamis yang disunah-kan bagi umat Islam untuk melakukan puasa. Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan yang diwajibkan puasa. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu. Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.
Ngalaksa
Upacara ngalaksa, yaitu upacara besar yang dilakukan sebagai uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya, serta tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Seba, yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
Upacara menanam padi, dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
Kelahiran, yang dilakukan melalui urutan kegiatan, yaitu:
Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun (kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.


Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy

Di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yaitu:
Hukuman Ringan
Biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy. 
Hukuman Berat
Diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, si terhukum juga akan dimasukan ke dalam rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy. 
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota. Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, diantaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu. Selain itu adanya larangan warga untuk keluar daerah, jika dilanggar maka mereka langsung di usir.
Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat, sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali, paling hanya cekcok mulut saja. Kepatuhan dan ketaatan itu dijalani dengan biasa tanpa penolakkan apapun. Hasilnya adalah kekaguman akan dirasakan oleh semua orang yang berkunjung ke sana, mereka amat rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk ukuran kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari. Itulah yang kami rasakan sebagai kesimpulan dari perjalanan menyelami salah satu suku tradisional.
Perkampungan Baduy dihuni oleh komunitas yang selain kental dengan ketentuan adat, mereka juga murah senyum. Secara jujur, setiap kita enggan berpaling dari pandangan kepada sosok Orang Baduy, terutama yang tinggal di Baduy Dalam. Ternyata wajah dan tubuh Orang Baduy sangat bersih tanpa cacad dan noda, walaupun mereka mandi tidak diperbolehkan menggunakan sabun, shampoo serta sikat gigi. Seperti halnya para lelaki, wanita Baduy pun memiliki badan yang putih, bersih, jernih, tanpa noda, tanpa kudis, kurap dan cantik-cantik. Tapi sayangnya, masyarakat luar Baduy, yang bukan dari suku Baduy Dalam maupun Baduy Luar tidak diperbolehkan untuk meminang gadis Baduy.

Hukum Pidana dalam Tatanan Masyarakat Baduy
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan.
Seperti wilayah yang lain di Indonesia, setiap Desa di Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang dalam budaya Kanekes disebut Jaro Pamarentah. Namun dalam sistem adat, seluruh masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi yang disebut sebagai puun.
Jabatan puun tidak dibatasi oleh waktu sehingga jabatan ini ditempati oleh orang yang dianggap memiliki kharisma tinggi sebagai pemimpin serta orang harus memiliki kemampuan untuk bertahan selama mungkin dalam jabatan tersebut. Dibawah puun ada Jaro, yang mana dalam sistem modern disebut sebagai ceksi pedesaan yang berhubungan dengan wilayah tertentu.
Jadi sebenarnya kepala desa dalam sistem nasional yang disebut jaro pamarentah dalam sistem Baduy adalah bawahan puun, secara tidak langsung. Oleh karena itu jika ada acara nasional, yang harus mengikuti acara tersebut bukan puun tapi jaro pamarentah atau kepala desa.
Masyarakat Baduy sejak dahulu selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Kepala Adat. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Kepala Adat.
Masyarakat Baduy memiliki hukum yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari, termasuk hukum pidana adat Baduy. Hukum pidana adat Baduy tidak dikodifikasikan dalam sebuah kitab, dalam artian hukum pidana adat Baduy tidak dibuat tertulis. Untuk melestarikan pengetahuan hukum adat Baduy tersebut, maka setiap dua bulan sekali semua warga dikumpulkan di masing-masing kampung Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, Cikeusik). Dalam forum tersebut diberitahukan setiap larangan yang ada di Baduy beserta ancaman hukumannya. Selain forum tersebut, pengetahuan mengenai hukum pidana adat Baduy diperoleh melalui budaya lisan/tutur dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setiap generasi di Baduy mengenal adat hukumnya.
Sebagaimana halnya adat Baduy, hukum pidana adat Baduy juga berfilosofi pada keseimbangan alam, filosofi yang dipakai pun sama Lojor teu meunang dipotong, Pondok teu meunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Falsafah hidup tersebut kemudian dijabarkan dalam norma-norma hukum di Baduy, termasuk norma hukum adat di Baduy.
Pada prinsipnya dalam hukum pidana adat Baduy, seorang pelaku tindak pidana harus dibersihkan lahir dan bathinnya. Pembersihan tersebut merupakan wujud dari pertanggungjawaban tindak pidana. Pembersihan lahiriah berupa pertanggujawaban pelaku pada korban yang mewujud dalam sanksi yang diterimanya. Sanksi tersebut berupa ditegor/ditegur, dipapatahan/dinasehati, silih ngahampura/saling memaafkan, ganti rugi, hingga dikeluarkan dari warga Baduy Dalam menjadi warga Baduy Luar.
Pembersihan bathiniah si pelaku diwujudkan dalam upacara ngabokoran atau serah pati. Ngabokoran adalah upacara pembersihan bathiniah atas tindak pidana yang tidak terlalu berat. Sedangkan serah pati adalah upacara pembersihan bathiniah atas tindak pidana berat. Ngabokoran dan serah pati secara integral juga merupakan pembersihan desa atas tindak pidana yang telah terjadi dengan memohonkan maaf pada leluhur dengan dipimpin oleh puun.
Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Adat Baduy
Adapun berbagai tindak pidana yang diatur dalam hukum pidana Baduy adalah sebagai berikut:
Fitnah/pencemaran nama baik
Fitnah terhadap pejabat adat derajatnya lebih tinggi dibandingkan fitnah terhadap warga Baduy biasa. Fitnah pada warga biasa dapat diselesaikan antara pihak keluarga. Sedangkan fitnah terhadap pejabat adat harus diselesaikan secara hukum adat (sistem peradilan hukum adat Baduy). Hal ini disebabkan karena pejabat adat sebagai pimpinan harus dihargai bersama, karena pimpinan adat merupakan simbol adat.
Zina
Zina dalam Baduy dibedakan penanganannya, persidangan untuk perkara zina tidak segera dilangsungkan sebagaimana seharusnya sesuai hukum pidana formal adat Baduy. Pelaku segera dikirmkan ke ‘rutan’ selama 40 hari, proses persidangan baru dilakukan setelah masa karantina selesai. Hal ini disebabkan zina dianggap aib yang memalukan semua pihak, baik korban, pelaku maupun masyarakat Baduy.
Pencurian
Dalam tindak pidana pencurian, pelaku pencurian diwajibkan mengganti kerugian pihak korban dan silih ngahampura. Jika pelaku meninggal sebelum ganti rugi terjadi, maka ganti rugi diserahkan pada sabah (keluarga bapak/ibunya). Pelaku juga akan ditanya kesanggupan untuk tidak mengulangi perbuatan. Jika tidak sanggup maka pelaku akan dikeluarkan dari Baduy Dalam. Dalam tindak pidana pencurian, pelaku diwajibkan membiayai upacara ngabokoran.
Penipuan
Dalam tindak pidana penipuan, pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana lebih diarahkan pada ganti rugi. Biasanya pelaku diminta membuat perjanjian untuk mengganti rugi, jika pelaku tak punya uang maka harus menjual hartanya (huma/padi). Jika pelaku tak punya harta, maka pertanggungjawaban dibebankan pada keluarga si pelaku.
Penganiayaan
Penganiayaan dalam hukum pidana adat Baduy dibedakan berdasakan berat dan ringannya penganiayaan. Jika penganiayaan tersebut bersifat ringan, maka cukup diselesaikan antara para pihak. Namun jika penganiayaan tersebut bersifat berat maka penyelesaiannya melibatkan sistem hukum pidana adat Baduy dengan memperhatikan asas ultimum remedium.
Pembunuhan
Setiap orang Baduy yang dengan sengaja melakukan tindak pembunuhan, dalam hukum pidana adat Baduy pelaku diharuskan melakukan pertobatan selama 40 kali, melakukan serah pati, dikeluarkan beserta keluarganya dari Baduy Dalam selama tujuh turunan dan tidak diikutsertakan dalam acara-acara adat.
Santet (julid)
Menurut Jaro Sami, julid ka papada (menyantet orang lain) adalah dosa yang sangat besar. Menurut riwayat (budaya lisan yang disampaikan turun temurun) matinya pelaku julid ka papada tidak akan diterima di akhirat. Ancaman pelaku julid ka papada sama dengan pelaku incest, ditalian dibalangkeun ka laut (diikat dilemparkan ke laut).
Sengketa Tanah
Sengketa tanah merupakan hal yang sering terjadi di Baduy, hal ini disebabkan karena lahan garapan di Baduy berlangsung turun temurun pada masing-masing keluarga sehingga tak jarang terjadi sengketa mengenai batas-batas tanah.

Tinjauan Analisis (Asas-Asas yang Terkandung dalam Hukum Pidana Adat Baduy)
Jika kita perhatikan dari setiap aturan yang ada dalam hukum pidana adat Baduy, maka akan kita temukan beberapa asas yang terkandung didalamnya. Diantaranya:
Asas Ultimum Remedium
Baduy mengenal asas yang identik dengan asas ultimum remedium dan diterapkan integral dalam penyelesaian tindak pidana. Artinya jika ada suatu tindak pidana, maka penyelesaian dalam tahap keluarga sedapat mungkin dilakukan. Jika para pihak tidak puas barulah kemudian diserahkan pada sistem peradilan adat Baduy.
Asas Personalitas/Personal Aktif
Hukum pidana adat Baduy Dalam berlaku bagi setiap warga baduy Dalam. Jika seorang warga Baduy Dalam diketahui melakukan pelanggaran diluar wilayah Dalam, maka perbuatan tersebut harus dipertanggungjawabkandalam proses persidangan Baduy Dalam. Bahwa kemudian ada persoalan nebis in idem karena telah diproses oleh hukum negara, maka hal itu diabaikan karena masyarakat Baduy telah memiliki sistem hukum tersendiri yang pada hakikatnya si pelaku harus dibersihkan lahir dan bathinnya untuk memulihkan keseimbangan dalam masyarakat Baduy. Ketentuan asa personalitas pada warga Baduy dalam juga berlaku bagi warga Baduy Luar. Bagi warga Baduy luar yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Baduy Luar maka diserahkan pada Jaro Dainah, kepala Desa Kanekes. Kebanyakan kemudian diserahkan pada hukum pidana nasional, namun dalam pembersihan bathinnya diserahkan pada struktur adat Baduy Dalam.
Asas Perlindungan/Nasional Pasif
Dalam hukum pidana adat Baduy juga mendapatkan perlindungan, sehingga bagi siapapun yang merugikan kepentingan hukum adat Baduy harus dimintakan pertanggungjawaban.
Asas Teritorial
Hukum pidana adat Baduy dapat dikatakan menganut asas teritorial yang bersifat quasi. Keberlakuan asas teritorial bagi warga diluar Baduy hanya pada delik-delik yang bersifat umum berlaku bagi masyarakat Baduy seperti penganiayaan, mengambil foto dll. Sementara terhadap delik yang bersifat khusus hanya berlaku bagi warga Baduy Dalam, seperti larangan mengenakan pakaian modern, alat elektronik dll.
Masyarakat baduy merupakan sebuah suku yang berada di wilayah barat pulau Jawa, tepatnya di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang masih kental dengan adat istiadat tradisional dan memiliki aturan hukum yang disebut dengan Hukum Adat Baduy. Masyarakat Kanekes (Baduy) secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka..
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Masyarakat Baduy juga memiliki hukum yang mengatur kehidupan mereka sehari-hari, termasuk hukum pidana adat Baduy. Hukum pidana adat Baduy tidak dikodifikasikan dalam sebuah kitab, dalam artian hukum pidana adat Baduy tidak dibuat tertulis. Dalam kasus tindak pidana, di dalam hukum pidana adat Baduy telah diatur sedemikian rupa tentang aturan hukumnya, dalam arti yang digunakan bukanlah hukum negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar