Senin, 07 Desember 2015

METODE PEMBELAJARAN YANG BERKESINAMBUNGAN


disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Peserta Didik pada Jurusan Pendidikan Matematika


DISUSUN OLEH :
SRI RAHMAYUNI
2225141755




JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN  AGENG TIRTAYASA
2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Mengatasi Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Menerapkan Kooperatif Learning.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat serta umatnya dan senantiasa setia hingga akhir zaman.
Makalah ini dibuat sebagai salah satu syarat mengikuti Pembelajaran Mata Kuliah Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Peserta Didik di Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tahun akademik 2015.
Penulis  menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi maupun bentuk penulisannya karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya untuk penulis selaku penyusun dan umumnya untuk pembaca.






Serang,  April 2015



Penyusun





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………….………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………..…..…...…..ii
DAFTAR ISI……………………………….………………………….…………...…….iii
BAB I  PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang…………………………………………...……………..………….1
1.2              Rumusan Masalah…………………………………….......……………………......2
1.3              Tujuan Penelitian…………………………………….……………..…….………...2
1.4              Metodologi Penelitian……………………………………………...………………2
1.5              Sistematika Penulisan………………………………………………........................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1       Penyebab Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika…………...………4
2.2       Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran Matematika……………………………7
2.3       Mengatasi Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Cara Menerapkan Kooperatif Learning…………………………………………...……13
BAB III  PENUTUP   
3.1       Kesimpulan…………………………………………………………………...…...17
3.2       Saran………………….....……………………………...……………………...….17
DAFTAR PUSTAKA……….……………..……………………………...……...……….18
LAMPIRAN………………….....…………………...……………………………...…….19







BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang disediakan pemerintah dan masyarakat bagi peserta didik untuk mengikuti semua mata pelajaran sesuai kurikulum yang berlaku agar mencapai tujuan pendidikan nasional. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting dipelajari  di sekolah, karena berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai bahasa dan alat dalam pengembangan sains dan teknologi (Sembiring, 2002). Cockrof dalam Abdurrahman (1999 : 253) menyebutkan perlunya belajar matematika, yaitu matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, matematika merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas, matematika dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, matematika dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, teliti, dan matematika dapat memberikan kepuasan terhadap usaha untuk memecahkan masalah yang menantang.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa matematika berguna dan erat kaitannya dengan segala segi kehidupan manusia, khususnya bagi peserta didik. Namun kenyataannya, matematika dianggap sebagai momok bagi peserta didik.  Anggapan tersebut menjadi masalah klasik yang terjadi pada hampir semua jenjang pendidikan  bahwa matematika sebagai pelajaran yang sulit. Hal ini sesuai yang dikemukakan  Abdurrahman (1999 :  252) bahwa dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit bagi para siswa, baik bagi siswa yang tidak berkesulitan belajar maupun bagi siswa yang berkesulitan belajar.
Anggapan semacam ini mempengaruhi kecemasan, dan berakibat pada rendahnya kemampuan peserta didik terhadap matematika. Menurut Alamolhodaie (200) bahwa kecemasan matematika adalah kondisi mental pada seseorang ketika menantang isi matematika baik dalam situasi pengajaran dan belajar, dalam memecahkan masalah matematika atau dalam menilai perilaku matematika. Situasi ini biasanya memprovokasi dengan kecemasan terlalu banyak, gangguan mental dan tidak perhatian, dikenakan berpikir, ketegangan mental, dan akibatnya mental yang blok. Selanjutnya, Aboulghassemi (2003)  bahwa konsekuensi dari kecemasan matematika berujung pada kekecewaan, pelupa, depresi, kesalahpahaman, dan penyakit dalam prosedur pengolahan informasi. Elliot dkk (1996 : 342) bahwa pada dasarnya kecemasan berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, dapat meningkatkan dan menurunkan motivasi dan hasil belajar matematika.
            Mengatasi kecemasan peserta didik dalam mempelajari matematika dapat diterapkan pembelajaran kooperatif. Muhammad Nur (2005: 1) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat memotivasi seluruh siswa, memanfaatkan seluruh energi sosial siswa, saling mengambil tanggungjawab. Disamping mengurangi kecemasan, pembelajaran kooperatif juga mengurangi  perilaku  menghindari  bantuan dan meningkatkan prilaku mencari bantuan pada peserta didik. Pengelolaan pembelajaran dengan  metode kooperatif memiliki organisasi yang lebih mendalam dan dengan peluang disesuaikan untuk siswa, esensi kerjasama, solidaritas, dan partisipasi disampaikan pada siswa. Melalui diskusi, konsultasi, dan  mencari bantuan, para siswa memperoleh kemampuan untuk menghapus masalah belajar mereka, mengajukan solusi yang berbeda, dan saling mengatasi kesulitan atau permasalahan matematika yang dialaminya.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa Penyebab Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika ?
b.      Bagaimana Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran Matematika ?
c.       Apakah Menerapkan Kooperatif Learning dapat Mengatasi Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika ?

1.3  Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui Penyebab Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika
b.      Untuk mengetahui Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran Matematika
c.       Untuk mengetahui pengaruh kooperatif learning dalam pembelajaran matematika.

1.4  Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan studi literatur dimana penulis menggunakan referensi berupa buku yang berjumlah satu buah yang berjudul Psikologi Pendidikan. Selain itu juga, penulis menggunakan beberapa referensi dari internet yang dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya serta jurnal dari dalam maupun luar negri yang berjudul “Mengelola Kecemasan Siswa
Dalam Pembelajaran Matematika” dan “A Case Study Of Cooperative Learning And Communication Pedagogy: Does Working In Teams Make A Difference?” .

1.5 Sistematika Penulisan
            Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab dua merupakan pembahasan yang menguraikan tentang Penyebab Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika, Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran Matematika. Selain itu juga, penulis memaparkan pengaruh kooperatif learning dalam pembelajaran matematika.
            Dalam bab tiga disampaikan simpulan dan saran. Selain itu, makalah ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Penyebab Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika
Dapat diduga bahwa seara umum, kecemasan matematika disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern siswa dan faktor ekstern. Faktor intern berhubungan dengan tingkat inteligensi, disiplin belajar/disiplin diri, dan persepsi siswa terhadap matematika. Faktor ekstern bisa berasal dari guru, masyarakat/lingkungan dan kebijakan sekolah.
Beberapa hal yang secara teoritis diduga sebagai faktor penyebab timbulnya kecemasan matematika dijelaskan sebagai berikut:
1.      Sifat matematika yang abstrak.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain, matematika tidak mempelajari objek-objek yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari hasil pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun dalam perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak.
2.      Belajar matematika lebih mengandalkan penalaran dan logika daripada sekedar pengamatan indra
Objek kajian matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuanya itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya adalah adanya alur penalaran yang logis. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain, matematika relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan kemampuan berpikir tinggi dalam mempelajarinya.
3.      Persepsi siswa dan persepsi masyarakat bahwa matematika itu sulit
Persepsi umum bahwa matematika itu ilmu paling sulit, telah mengkooptasi pikiran sebagian anak. Siswa yang sedang belajar matematika ikut menilai bahwa matematika itu sulit. Karena lebih dahulu menganggap sulit, maka siswa mengalami apa yang disebutmenyerah sebelum mencoba. Jika siswa memiliki persepsi yang positif terhadap matematika maka kemungkinan tingkat kecemasannya kecil. Sebaliknya jika siswa menganggap matematika terlalu sulit, maka ia akan takut dan cemas pada matematika.
4.      Tingkat inteligensi siswa
Siswa dengan tingkat inteligensi bagus akan mudah memahami materi matematika atau mudah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini cenderung tidak cemas terhadap matematika.
Sebaliknya, jika tingkat inteligensi siswa rendah, maka ada kemungkinan ia sulit memahami materi matematika dan sulit melakukan sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini akan cemas dengan matematika.
5.      Disiplin belajar/disiplin diri
Jika siswa disiplin dalam belajar, maka ia akan melakukan belajar secara kontinu dan teratur. Kebiasaan ini membuat siswa mudah menguasai materi  matematika dan ia tidak akan terlalu cemas.
6.      Kekeliruan metode pembelajaran dan sikap guru
Ada fenomena umum bahwa pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru menjelaskan materi pelajaran dan membahas contoh soal. Kemudian memberikan soal latihan kepada siswa. Pembelajarn seperti ini tentu kurang bermakna, dan membuat siswa cenderung mengikuti contoh saja. Siswa menjadi manja dan pikirannya tidak berkembang, siswa tidak mendapat kesempatan mengeksplorasi dan mengekspresikan kemampuannya. Jika menemukan soal yang lebih sulit, maka siswa merasa tertekan. Pembelajaran matematika tidak menjadi kesempatan untuk melatih olah pikir, melainkan matematika dipahami dengan cara menghafal.
7.      Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik
Adalah kebiasaan umum bahwa guru dan orang tua menghendaki siswa memperoleh prestasi belajar yang baik. Jika siswa mendapat nilai rendah, ia dimarahi atau diolok. Ini mengakibatkan siswa merasa tertekan dan menganggap dirinya bodoh. Tanpa disadari, hal ini menjadi beban atas diri siswa. Siswa akan cenderung berorientasi pada hasil atau nilai yang tinggi dalam matematika, dengan tujuan asal bapak senang, terhindar dari hukuman dan olokan. Siswa mengabaikan proses belajar.
Syah (2012:184-185) menjelaskan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:
a.         Faktor Internal Siswa,
Faktor internal meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa yang dapat bersifat kognitif.
b.        Faktor Eksternal
Faktor eksternal meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar siswa (lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah);
c.         Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar yaitu rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber dalam Syah, 2012).
d.        Kelelahan
Kelelahan dapat menjadi faktor pemicu kecemasan matematika karena siswa tidak dapat melanjutkan proses belajarnya yang sudah pada batas kemampuan jasmaniahnya.
Freud dari Ahli Psikoanalisis, Calvin S. Hall dari Ahli Kultural dan Mowrer dari Ahli Teori Belajar bersepakat untuk menggabungkan pendapat masing-masing, menjadi dua faktor yang mempengaruhi kecemasan (dalam Soeharjono, 1988), yaitu:
1. Mikrokosmos (keadaan diri individu)
a. Sifat dasar konstitusi individu sejak lahir yang meliputi: emosi, tingkah laku, dan proses
berpikir individu.
b. Keadaan biologi individu seperti jenis kelamin.
c. Perkembangan individu yang dapat dilihat dari usia individu.
2. Makrokosmos (keadaan lingkungan)
a. Orang tua atau keluarga dirumah.
b. Sekolah (kelas), tetangga, teman-teman.
c. Masyarakat, meliputi: keadaan sosial, budaya, lingkungan agama, dan sebagainya.
Adapun beberapa hal yang menyebabkan ketakutan anak terhadap matematika. (kutipan jurnal)
Menurut Skemp (1971: 129-131), salah satu sebab utama kecemasan siswa adalah otoritas guru. Perlu diingat bahwa setiap kali skema yang diperlukan dalam pemahaman tidak hadir dan tersedia dalam pikiran siswa, apapun pembelajaran yang terjadi hanya didasarkan atas apa yang siswa terima dari otoritas guru. Belajar dengan cara tersebut adalah rote-learning (hafalan) bukan schematic-learning (secara skema). Pembelajaran tersebut mungkin tidak akan diawali dengan kecemasan siswa. Masalahnya adalah sulit membedakan antara anak yang cerdas dan anak yang mau/bisa menghafal banyak proses dasar matematika dengan baik dibanding berdasarkan pemahaman. Cepat atau lambat akan terjadi kecemasan pada siswa. Hal tersebut dapat terjadi karena dua hal, yaitu:
1. Ilmu matematika yang dipelajari semakin maju dan kompleks yang tidak mungkin dapat dihafalkan dengan memori yang dimiliki siswa.
2. Masalah rutin terbatas pada masalah-masalah tertentu dan tidak dapat diadaptasikan ke masalah lain yang berbeda berdasarkan ide-ide matematika yang sama.
Oleh karena itu, pembelajaran skematik lebih cocok digunakan karena memudahkan siswa untuk beradaptasi dan mengurangi beban siswa dalam pemenuhan memori yang digunakannya untuk mengingat/menghafal. Pendekatan hafalan yang dilakukan siswa ataupun guru hanya menghasilkan efek jangka pendek dan tidak ada retensi (ingatan) jangka panjang. Kemajuan yang terhenti menyebabkan adanya kecemasan dan hilangnya kepercayaan diri. (Kutipan jurnal)

2.2             Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran Matematika
a.                  Belajar Kooperatif (Cooperative Learning)
Sekitar tahun 1960-an, belajar kompetitif dan individualistik telah mendominasi pendidikan di Amerika Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi dan tekanan dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan individualistik, guru menempatkan siswa terpisah dari siswa yang lain. Kata-kata “dilarang mencontoh”, “geser tempat dudukmu”, “Saya ingin agar kamu bekerja sendiri” dan “jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri” sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualistik (Johnson & Johnson, 1994). Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia sekarang ini.
Jika disusun dengan baik, belajar kompetitif dan individualistik akan efektif dan merupakan cara memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik. Meskipun demikian terdapat beberapa kelemahan pada belajar kompetitif dan individualistik, yaitu (a) kompetisi siswa kadang tidak sehat, sebagai contoh jika seorang siswa menjawab pertanyaan guru, siswa yang  lain berharap agar jawaban yang diberikan salah, (b) siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (c) siswa berkemampuan rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (d) dapat membuat frustrasi siswa lainnya (Slavin, 1995). Untuk menghindari hal-hal tersebut dan agar siswa dapat membantu siswa yang lain untuk mencapai sukses, maka jalan keluarnya adalah dengan belajar kooperatif.
Belajar kooperatif bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai guru dan mungkin sebagai siswa kita pernah menggunakannya atau mengalaminya, sebagai contoh saat bekerja dalam laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja sama dalam menguasai materi yang diberikan guru (Slavin, 1995; Eggen & Kauchak, 1996; Suherman, 2001). Artzt & Newman (1990:448) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya.
Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok yang dibentuk dengan tujuan untuk memaksimalkan belajar antara siswa (Johnson & Johnson, 1994). Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap (a) kontribusi mereka dalam usaha mencapai tujuan dan (b) bantuan untuk anggota yang membutuhkan (Johnson & Johnson, 1994).
Belajar kooperatif mempunyai ide bahwa siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya. Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok mempelajari tujuan (penguasaan materi) yang akan dicapai (Slavin, 1995). Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah (Louisell & Descamps, 1992).
Zamroni (2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.
Ditinjau dari sudut pandang perkembangan kognitif, belajar kooperatif berdasar pada pendapat Piaget dan Vygotsky (dalam Johnson & Johnson, 1994). Menurut Piaget, ketika siswa bekerjasama dalam suatu lingkungan, konflik sosiokognitif akan terjadi dan membentuk ketidakseimbangan kognitif (disequilibrium). Lebih lanjut, Piaget berpendapat bahwa selama usaha kooperatif, partisipan akan meningkatkan diskusi sehingga konflik kognitif terjadi dan akan dipecahkan serta penalaran yang salah akan nampak dan akan segera dimodifikasi. Menurut Vygotsky pengetahuan adalah bersifat sosial dan belajar terjadi dalam interaksi sosial (dalam Ibrahim & Nur, 2000).  Hal ini, sesuai dengan pendapat Bruner (dalam Ibrahim & Nur, 2000) bahwa interaksi sosial merupakan hal yang penting dalam belajar karena dapat berpengaruh pada perilaku pemecahan masalah oleh siswa. 
            Menurut Johnson & Johnson (1994), terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu seperti berikut ini.
1.      Saling ketergantungan yang bersifat positif antar siswa
      Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain. Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses. Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.
2.      Interaksi antar siswa yang semakin meningkat
       Belajar kooperatif akan meningkatkan interaksi antar siswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan bantuan ini akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide mengenai masalah yang sedang dipelajari bersama.
3.      Tanggung jawab individual
       Tanggung jawab individual dalam belajar kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal (a) membantu siswa yang membutuhkan bantuan dan (b) bahwa siswa tidak dapat hanya sekedar “membonceng” pada hasil kerja teman sekelompoknya.
4.      Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil
       Dalam belajar kooperatif, selain dituntut untuk mempelajari materi yang diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan menuntut keterampilan khusus.
5.      Proses kelompok
       Belajar kooperatif tidak akan berlangsung tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat hubungan kerja yang baik.
Konsep utama dari belajar kooperatif menurut Slavin (1995) adalah sebagai berikut.
1.      Penghargaan kelompok, yang akan diberikan jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.
2.      Tanggung jawab individual, bermakna bahwa suksesnya kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok. Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain dan memastikan setiap anggota kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.
3.      Kesempatan yang sama untuk sukses, bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar mereka sendiri. Hal ini memastikan  bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa kontribusi semua anggota kelompok sangat bernilai.
b.   Keunggulan Belajar Kooperatif
Menurut Ibrahim dkk (2000) belajar kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar daripada dengan belajar kompetitif dan individualistik. Lebih lanjut, Ibrahim dkk (2000) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam belajar kooperatif daripada dari guru. Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000) belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antar siswa normal dan siswa penyandang cacat.
Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat digunakan dalam setiap jenjang pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dalam semua bidang materi dan dalam sebarang tugas. Selain itu, Slavin (1995) menyatakan bahwa belajar kooperatif telah digunakan secara intensif pada setiap subjek pendidikan, dalam semua jenjang pendidikan dan pada semua jenis persekolahan di berbagai belahan dunia.
Uraian di atas, mendorong perlunya pelaksanaan belajar kooperatif dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika. Pelaksanaan belajar kooperatif sangat diperlukan karena dengan belajar kooperatif dapat diperoleh bahwa (1) siswa dapat belajar lebih banyak, (2) siswa lebih menyukai lingkungan persekolahan, (3) siswa lebih menyukai satu sama lain, (4) siswa mempunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri, dan (5) siswa belajar keterampilan sosial secara lebih efektif (Johnson & Johnson, 1994).
Davidson (1991) memberikan sejumlah implikasi positif dalam belajar matematika dengan menggunakan strategi belajar kooperatif, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok kecil memberikan dukungan sosial untuk belajar matematika. Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan  pendapat, belajar untuk mendengarkan pendapat dapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan penemuan mereka dalam bentuk tulisan.
2.  Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk sukses bagi semua siswa dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.
3. Masalah matematika idealnya cocok untuk diskusi kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif. Seorang siswa dapat mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.
4. Siswa dalam kelompok dapat membantu siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang bermanfaat.
5. Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh ide-ide menarik dan menentang yang bermanfaat bila didiskusikan.
6. Matematika memberikan kesempatan untuk berpikir kreatif, matematika menjelajahi situasi yang tidak terbatas, untuk melakukan konjektur dan mengujinya dengan data, untuk mengajukan masalah-masalah yang membangkitkan minat, dan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak rutin, Siswa dalam kelompok sering dapat menangani situasi yang menantang yang melebihi kemampuan individu pada tingkat perkembangan tertentu.
c.   Bentuk Belajar Kooperatif

a. Students Teams Achievement Divisions (STAD)

            STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan koleganya di Universitas John Hopkin (Ibrahim dkk,. 2000; Ratumanan, 2002). Dalam STAD, siswa dibentuk dalam kelompok belajar yang terdiri dari 4 atau 5 orang dari berbagai kemampuan, gender dan etnis. Dalam praktiknya, guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam kelompok  untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok telah menguasai materi. Selanjutnya, siswa menghadapi tes individual. STAD mempunyai 5 komponen, yaitu (1) presentasi kelas, (2) kelompok, (3) kuis atau tes, (4) skor individual, dan (5) penghargaan kelompok (Slavin, 1995).
b. Jigsaw II
            Jigsaw dikembangkan pertama kali oleh Elliot Aronson dan koleganya di Universitas Texas (Ibrahim dkk., 2000; Ratumanan, 2002). Dalam belajar kooperatif bentuk jigsaw II, siswa bekerja dalam kelompok seperti pada STAD. Siswa diberi materi untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi “ahli (expert)” pada suatu aspek tertentu dari materi. Setelah membaca materi, “ahli” dari kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik mereka dan kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assesmen yang lain pada semua topik yang diberikan.

c. Investigasi Kelompok

            Investigasi Kelompok dikembangkan oleh Shlomo & Yael Sharon di Univesitas Tel Aviv (Slavin, 1995). Investigasi Kelompok adalah strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam kelompok untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik.
            Perencanaan untuk melakukan bentuk Investigasi Kelompok sama seperti pada bentuk belajar kooperatif yang lain. Perencanaan Investigasi Kelompok melibatkan lima tahap, yaitu (1) menentukan tujuan, (2) merencanakan pengumpulan informasi, (3) membentuk kelompok, (4) mendesain aktivitas kelompok, dan (5) merencanakan aktivitas kelompok secara keseluruhan. Tahap-tahap ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
            Seperti pada perencanaan, implementasi aktivitas meliputi lima tahap yaitu (1) pengorganisasian kelompok dan identifikasi topik, (2) perencanaan kelompok, (3) pelaksanaan investigasi, (4) penganalisisan hasil dan mempersiapkan laporan, dan (5) penyajian laporan.
            Masih banyak lagi bentuk belajar kooperatif lainnya, misalnya Team Assisted Instruction (TAI), Team Game Tournament (TGT), danThink Pair Share (TPS).
2.3   Mengatasi Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Cara Menerapkan Kooperatif Learning
Ada banyak faktor mujarab dalam memproduksi kecemasan matematika  yang paling penting  adalah situasi belajar dan metode mengajar. Clut (1984) menunjukkan bahwa terdapat hubungan berarti  antara kecemasan matematika dan metode pengajaran. Menurut Powel dan Enright (1990) bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu tehnik pengajaran yang sesuai yang menyebabkan kurangnya kecemasan dan meningkatkan kesadaran diri siswa dari prosedur pembelajaran mereka. Pembelajaran kooperatif memberikan situasi belajar yang menyenangkan untuk semua siswa, karena siswa memiliki kesempatan yang sama, persaingan diubah sebagai persahabatan, semangat kerjasama dan partisipasi diperkuat, dan semua siswa berhak untuk menjadi bijaksana dan kreatif (Keramati, 2001).
 Karena esensi dari masalah matematika memerlukan penggunaan teknik yang berbeda dalam pemecahan masalah,  penerapan metode   memiliki peran penting dalam mengajar matematika. Sementara itu siswa, berkumpul dalam kelompok, dapat mencapai prosedur pemecahan yang berbeda melalui diskusi dan konsultasi dan memperoleh berbagai prosedur melalui bimbingan guru mereka (Ronald, 1997, dikutip oleh Keramati, 2002).
 Menurut Slavin dalam (Sayed Muhammad,2008) terdapat empat prinsip membawa perspektif memainkan peran yang sangat penting dalam teknik mengajar, yaitu : Prinsip pertama menekankan pada sifat sosial pembelajaran, yang menurut anak-anak melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih kompeten, mulai belajar. Prinsip ke-duamengemulasi Zona Proksimal Perkembangan. Vygotsky (1978) menjelaskan bahwa Perkembangan  proksimal diperkirakan berbeda antara "Perekembangan proksimal saat ini" kemampuan anak yang mandiri untuk memecahkan masalah  dan kemajuan "Pengembangan potensi Proksimal" - kemampuan anak untuk memecahkan masalah dengan bimbingan orang dewasa atau kerjasama dengan rekan yang lebih terampil. Prinsip ke-tiga adalah pelatihan kognitif dan berkaitan dengan proses dimana peserta didik memperoleh kompetensi secara bertahap melalui interaksi dengan orang terampil (dewasa atau teman sebaya yang lebih tua dan lebih terampil). Prinsip ke-empat alamat yang menunjang pembelajaran yang mendukung melalui media dalam pemikiran konstruktivis modern.
Selanjutnya, pendekatan ini telah mendorong perilaku siswa yang lebih positif, juga
mengembangkan minat untuk sekolah  dapat membantu untuk meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri pada siswa (Dehghan Shadkami, 2009). Temuan penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif meningkatkan kepercayaan dan saling menghormati,  penurunankecemasan, mempromosikan meta-kognitif pengetahuan dan mendorong martabat diri dan antusias terhadap pembelajaran (Millis, 2010).  
            Suatu ciri pembelajaran kooperatif adalah pembentukan kelompok-kelompk siswa. Pembentukan   kelompok-kelompok untuk menyelesaikan kegiatan matematika  melalui  diskusi antar  peserta didik dan berhasil untuk menghasilkan diskusi di antara mereka, di bawah bimbingan guru, dapat menghasilkan kesempatan yang cocok untuk membuat pembelajaran kooperatif di kalangan siswa. Gerakan ini dapat meningkatkan model yang harus dipatuhi (implisit) dan kesiapan mental pada siswa, akibatnya, ia menghasilkan pengetahuan matematika pada siswa. Oleh karena itu, peserta didik memiliki prospek untuk meningkatkan kompetensi dirinya dan kepercayaan belajar matematika dalam situasi yang tidak memprihatinkan dalam kelompok yang sama didirikan dengan siswa yang  kecemasan matematika tinggi. Hal ini juga menciptakan kepercayaan bahwa mereka memiliki kemampuan komparatif dan kecukupan untuk  mempelajari konsep-konsep matematika (Alamolhodaie,2000).
            Disamping mengurangi kecemasan, pembelajaran kooperatif juga mengurangi  perilaku menghindari  mencari bantuan dan meningkatkan prilaku mencari bantuan pada siswa.Pengelolaan pembelajaran dengan  metode kooperatif memiliki organisasi yang lebih mendalam dan dengan peluang disesuaikan untuk siswa, esensi kerjasama, solidaritas, dan partisipasi disampaikan pada siswa. Dengan tujuan untuk mencapai kecerdasan, wawasan, dan pengetahuan, para siswa akan memperoleh kemampuan untuk bekerja dalam kelompok kooperatif, berkolaborasi satu sama lain, dan memeriksa bantuan dari yang lain. Melalui diskusi, konsultasi, dan  mencari bantuan, para siswa memperoleh kemampuan untuk menghapus masalah belajar mereka, mengajukan solusi yang berbeda, dan mempelajari panduan yang berbeda dari                guru-guru mereka dan  pasangan mereka. Metode ini memberikan situasi bagi siswa untuk memahami bahwa mereka tidak dapat mencapai keberhasilan mutlak sendiri, dan mereka membutuhkan  bantuan dari rekan-rekan mereka untuk melakukan tugas mereka.
            Posamentier dalam Muhammad Nur (2005) bahwa secara sederhana menyebutkan cooperative learning atau belajar secara kooperatif adalah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan mereka sebuah atau beberapa tugas. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Menurut Slavin (dalam Krismanto, 2003: 14) menyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pengajaran secara khusus membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teori siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikannya dengan temannya. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah peran guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivis, tugas guru (pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri sendiri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal.
Results from the study support the notion that cooperative learning is indeed an active pedagogy that works to foster higher academic achievement. Findings suggest that grades and group success hold greater importance to students than peer acceptance and sense of achievement, despite literature indicating the weight of interdependency on group success (Johnson et al., 1991). (kutipan jurnal)















BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Pembelajaran kooperatif adalah suatu tehnik pengajaran yang sesuai yang menyebabkan kurangnya kecemasan dan meningkatkan kesadaran diri siswa dari prosedur pembelajaran mereka (Menurut Powel dan Enright:1990). Pembelajaran kooperatif memberikan situasi belajar yang menyenangkan untuk semua siswa, karena siswa memiliki kesempatan yang sama, persaingan diubah sebagai persahabatan, semangat kerjasama dan partisipasi diperkuat, dan semua siswa berhak untuk menjadi bijaksana dan kreatif (Keramati, 2001).
Metode ini memberikan situasi bagi siswa untuk memahami bahwa mereka tidak dapat mencapai keberhasilan mutlak sendiri, dan mereka membutuhkan  bantuan dari rekan-rekan mereka untuk melakukan tugas mereka.
Pembelajaran kooperatif  yang diterapkan secara memadai   dapat mengurangi  kecemasan matematika, meningkatkan minat belajar siswa, dan mengurangi prilaku menghindari mencari bantuan. Oleh karena itu, guru dapat mendorong siswa untuk meminta bantuan pemahaman dari yang yang dipandang memahami, terutama pada mata pelajaran matematika, baik secara individu maupun dalam kelompok belajar. Karena kecemasan matematika adalah luas dalam situasi peserta didik yang berbeda, disarankan kepada guru dan semua pihak berwenang agar senantiasa memperkenalkan para guru tentang pembelajaran kooperatif.

3.2       Saran
Semoga makalah ini dapat membantu untuk menambah dan memperluas wawasan para pembaca mengenai metode pembelajaran matematika dalam menghilangkan kecemasan siswa pada matematika. Serta dapat mengimplementasikannya dalam kegiatan belajar mengajar.



DAFTAR PUSTAKA

Purwanto Ngalim. 2013. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Wicaksono A.B. & Saufi M. 2013.  Mengelola Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran            Matematika. Jurnal Psikologi Pendidikan
Tsay M. & Brady M. 2010. A Case Study Of Cooperative Learning And Communication Pedagogy:Does Working In Teams Make A Difference?. Journal Of The Scholarship Of Teaching And Learning, Vol. 10, No. 2, June 2010, Pp. 78 – 89.
http://tyanfedi.blogspot.com/2013/11/kecemasan-matematika-math-anxiety.html (Diakses pada Sabtu, 18 April 2015 Pukul 20.00 WIB)















LAMPIRAN

MENGELOLA KECEMASAN SISWA
1.
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Arief Budi Wicaksono1 M. Saufi2
1,2Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta 1aryev96math@gmail.com 2Saufi_yondaime@yahoo.co.id


Abstrak
Kecemasan merupakan salah satu faktor emosional siswa. Kecemasan adalah salah satu alasan mengapa hubungan interpersonal yang tepat sangat penting dalam memahami matematika. Hal ini dikarenakan bahwa kecemasan itu sendiri dapat meningkat, bersifat subjektif, dan menyulitkan pemahaman. Siswa yang lebih cemas akan berusaha semakin keras, tapi pemahaman mereka akan semakin memburuk, sehingga semakin membuatnya cemas. Oleh karena itu siswa belajar secara parsial. Hal ini akan membentuk pengalaman interpersonal siswa.
Siswa yang merasa kurang cemas dalam pembelajaran matematika dikarenakan siswa tersebut mengetahui bahwa ia mampu mengatasi masalah dalam belajar matematika, maka ia akan dapat menggunakan kecemasaannya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kecemasan dapat menjadi stimulus yang berguna. Adaptasi terhadap kecemasan adalah bagian dari cara mengatasi kecemasan dalam pemecahan masalah. Pada makalah ini akan diuraikan beberapa hal yang mungkin dapat mengelola kecemasan dalam pembelajaran matematika.

Kata kunci: kecemasan, pembelajaran matematika


PENDAHULUAN

Kecemasan adalah salah satu alasan mengapa hubungan interpersonal yang baik penting dalam memahami matematika. Hal tersebut karena kecemasan tersebut dapat meningkat, bersifat subjektif pada setiap individu, dan mempengaruhi sulit atau tidaknya pemahaman. Ada siswa yang dapat dengan mudah memahami ketika menerima suatu penjelasan, tetapi ada pula siswa yang tidak. Jika siswa yang tidak mengerti tersebut merasa cemas maka mereka tidak akan ragu untuk berusaha lebih keras untuk memahami. Tetapi, kecemasan yang berlebihan juga berdampak buruk pada diri mereka karena dapat mengurangi efektivitas dari usaha yang mereka lakukan. Ketika kecemasan meningkat pada diri siswa maka siswa tersebut akan berusaha lebih keras, tetapi pemahaman mereka justru semakin memburuk yang berakibat kecemasan mereka justru semakin meningkat. Terjadi terus-menerus hingga terbentuk lingkaran setan. Hal tersebut dapat terjadi dalam jangka pendek dan juga jangka panjang. Pengalaman tersebut dalam pelajaran matematika akan menjadi stimulus terhadap kecemasan. Oleh karena itulah siswa belajar secara parsial. Hal tersebut akan membentuk pengalaman interpersonal siswa.
Kecemasan matematika banyak terjadi di kalangan siswa dan bahkan menjadi penentu bagi pandangan mereka terhadap matematika ke depannya. Kecemasan siswa dalam menghadapi matematika dikarenakan adanya beberapa faktor, yaitu faktor intelegensi, faktor di dalam diri siswa dan faktor lingkungan. Ellis (Alsa, 1984) mengatakan bahwa kecemasan pada siswa disebabkan oleh adanya tingkat inteligensi yang berbeda pada diri siswa. Hal ini dijelaskan oleh Zeidner (1998) kecemasan seseorang terhadap pelajaran matematika dikarenakan kurangnya ketertarikan siswa terhadap pelajaran matematika. Kurangnya ketertarikan siswa terhadap pelajaran matematika disebabkan oleh intelegensi siswa dalam pelajaran matematika, siswa yang memiliki intelegensi tinggi akan cenderung lebih tertarik dan akan lebih evaluatif terhadap pelajaran matematika, sedangkan siswa yang memiliki intelegensi rendah akan kurang tertarik dan kurang evaluatif terhadap pelajaran matematika (Zeidner, 1998).

PEMBAHASAN

Pengertian Kecemasan

Salah satu bentuk perasaan seorang siswa ketika menghadapi ujian khususnya ujian matematika adalah terjadinya perasaan tidak mengenakkan atau merasa takut dan tegang. Beberapa siswa kadang menyikapi ujian sebagai suatu permasalahan dalam hidupnya, baik karena nantinya ia akan malu karena tidak mendapat nilai yang bagus maupun karena merasa tidak percaya diri dengan persiapan yang dimilikinya. Perasaan takut atau tegang dalam menghadapi suatu persoalan tersebut disebut kecemasan.
Crow dan Crow (dalam Hartanti, 1997) mengemukakan bahwa kecemasan adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan yang dialami oleh individu yang dapat mempengaruhi keadaan fisiknya. Senada dengan yang dikemukakan oleh Crow dan Crow, menurut Soehardjono (1988) kecemasan adalah manifestasi dari gejala-gejala atau gangguan fisiologi seperti: gemetar, banyak keringat, mual, sakit kepala, sering buang air, palpitasi (debaran atau berdebar-debar).
Menurut Rathus (dalam Nawangsari, 2001) kecemasan didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang ditandai oleh adanya tekanan, ketakutan, kegalauan dan ancaman yang berasal dari lingkungan. Sementara itu menurut Zakiyah Derajat (dalam Hartanti, 1997) kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur aduk, yang terjadi ketika individu sedang mengalami tekanan perasaan atau frustasi dan pertentangan batin atau konflik. Sedangkan menurut Nawangsari (2001) kecemasan adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan meliputi rasa takut, rasa tegang, khawatir, bingung, tidak suka yang sifatnya subjektif dan timbul karena adanya perasaan tidak aman terhadap bahaya yang diduga akan terjadi.
Dari definisi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kecemasan matematika merupakan bentuk perasaan seseorang baik berupa perasaan takut, tegang ataupun cemas dalam menghadapi persoalan matematika atau dalam melaksanakan pembelajaran matematika dengan berbagai bentuk gejala yang ditimbulkan. Orang yang memiliki kecemasan matematika cenderung menganggap matematika sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Perasaan tersebut muncul karena beberapa faktor baik itu berasal dari pengalaman pribadi terkait dengan guru atau ejekan teman karena tidak bisa menyelesaikan permasalahan matematika.

Gejala Kecemasan

Gejala kecemasan ada dalam bermacam-macam bentuk dan kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami kecemasan cenderung untuk terus menerus merasa khawatir akan keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik. Biasanya seseorang yang mengalami kecemasan cenderung tidak sadar, mudah tersinggung, sering mengeluh, sulit berkonsentrasi dan mudah terganggu tidurnya atau mengalami kesulitan untuk tidur (Gunarsa dkk. dalam Leonard, 2008).
Penderita kecemasan sering mengalami gejala-gejala seperti berkeringat berlebihan walaupun udara tidak panas dan bukan karena berolahraga, jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut kering, merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi batas kewajaran dan lain-lain. Mereka juga sering mengeluh pada persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering terkejut, dan ada kalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya pada saat duduk terus menerus, menggoyang-goyangkan kaki, meregangkan leher, mengernyitkan dahi dan lain-lain (Gunarsa dkk. dalam Leonard, 2008).
Menurut Dacey (2000) dalam mengenali gejala kecemasan dapat ditinjau melalui tiga komponen, yaitu:
1. Komponen psikologis, berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman, takut, cepat terkejut.
2. Komponen fisiologis, berupa jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi (mudah emosi), respon kulit terhadap aliran galvanis (sentuhan dari luar) berkurang, gerakan peristaltik (gerakan berulang-ulang tanpa disadari) bertambah, gejala somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik (sensorik), gejala Respiratori            (pernafasan),       gejala               Gastrointertinal        (pencernaan),   gejala                    Urogenital (perkemihan dan kelamin).
3. Komponen sosial, sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu di lingkungannya. Perilaku itu dapat berupa tingkah laku (sikap) dan gangguan tidur.

Penyebab Kecemasan

Jersild dari Ahli Konstitusi mengatakan bahwa kecemasan dipengaruhi oleh faktor konstitusi individu. Menurut Freud dari Ahli Psikoanalisis, kecemasan merupakan akibat dari hasil konflik antara dorongan instingtual yang ingin mencari kepuasan dengan kekuatan represi untuk menghambat dorongan yang muncul. Sementara itu Calvin S. Hall dari Ahli Kultural mengatakan bahwa kecemasan dipandang sebagai ekspresi langsung dari pengaruh sosio-kultural. Mowrer dari Ahli Teori Belajar mengatakan kecemasan dipengaruhi oleh pola belajar Conditioning dengan adaptasi yang salah serta didasarkan pada pembentukkan Conditioned Reflex. Jersild dari Ahli Konstitusi (ahli yang meneliti tentang sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap individu), Freud dari Ahli Psikoanalisis, Calvin S. Hall dari Ahli Kultural dan Mowrer dari Ahli Teori Belajar bersepakat untuk menggabungkan pendapat masing-masing, menjadi dua faktor yang mempengaruhi kecemasan (dalam Soeharjono, 1988), yaitu:
1. Mikrokosmos (keadaan diri individu)
a. Sifat dasar konstitusi individu sejak lahir yang meliputi: emosi, tingkah laku, dan proses berpikir individu.
b. Keadaan biologi individu seperti jenis kelamin.
c. Perkembangan individu yang dapat dilihat dari usia individu. 2. Makrokosmos (keadaan lingkungan)
a. Orang tua atau keluarga dirumah.
b. Sekolah (kelas), tetangga, teman-teman.
c. Masyarakat, meliputi: keadaan sosial, budaya, lingkungan agama, dan sebagainya. Adapun beberapa hal yang menyebabkan ketakutan anak terhadap matematika diantaranya:
1. Matematika sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah merupakan cabang ilmu yang spesifik. Objek matematika adalah fakta, proses, prinsip, dan konsep yang semuanya berperan dalam proses berpikir matematis dengan salah satu cirinya yaitu adanya penalaran yang logis. Berbeda dengan mata pelajaran lainnya oleh sebab itu matematika dianggap relatif sulit karena diperlukan konsistensi dalam pengerjaannya.
2. Persepsi yang berkembang di tengah masyarakat bahwa matematika itu sulit telah terkooptasi sebagian pikiran anak.
3. Pelajaran matematika yang monoton, guru cenderung represif membuat anak tertekan. Anak cenderung menutup diri kurang dapat mengolaborasi dan mengekspresikan dirinya dalam pembelajaran.
4. Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik dalam pelajaran matematika oleh orang tua dan guru. Hal ini menyebabkan anak hanya berorientasi pada hasil dan nilai saja bukan proses pembelajaran itu sendiri. Ketika seorang anak mendapat nilai yang jelek, dia menjadi tertekan dan menganggap dirinya bodoh.
Menurut Skemp (1971: 129-131), salah satu sebab utama kecemasan siswa adalah otoritas guru. Perlu diingat bahwa setiap kali skema yang diperlukan dalam pemahaman tidak hadir dan tersedia dalam pikiran siswa, apapun pembelajaran yang terjadi hanya didasarkan atas apa yang siswa terima dari otoritas guru. Belajar dengan cara tersebut adalah rote-learning (hafalan) bukan schematic-learning (secara skema). Pembelajaran tersebut mungkin tidak akan diawali dengan kecemasan siswa. Masalahnya adalah sulit membedakan antara anak yang cerdas dan anak yang mau/bisa menghafal banyak proses dasar matematika dengan baik dibanding berdasarkan pemahaman. Cepat atau lambat akan terjadi kecemasan pada siswa. Hal tersebut dapat terjadi karena dua hal, yaitu:
1. Ilmu matematika yang dipelajari semakin maju dan kompleks yang tidak mungkin dapat dihafalkan dengan memori yang dimiliki siswa.
2. Masalah rutin terbatas pada masalah-masalah tertentu dan tidak dapat diadaptasikan ke masalah lain yang berbeda berdasarkan ide-ide matematika yang sama.
Oleh karena itu, pembelajaran skematik lebih cocok digunakan karena memudahkan siswa untuk beradaptasi dan mengurangi beban siswa dalam pemenuhan memori yang digunakannya untuk mengingat/menghafal. Pendekatan hafalan yang dilakukan siswa ataupun guru hanya menghasilkan efek jangka pendek dan tidak ada retensi (ingatan) jangka panjang. Kemajuan yang terhenti menyebabkan adanya kecemasan dan hilangnya kepercayaan diri.

5. READ your math text.
6. Study math according to YOUR LEARNING STYLE. 7. Get help the same day you dont understand.
8. Be relaxed and comfortable while studying math. 9. “TALK mathematics.
10. Develop responsibility for your own successes and failures. (Freedman, 2012)
Dari uraian pendapat di atas, beberapa hal ini mungkin dapat meminimalkan kecemasan matematika, yaitu:
1. Memberikan penjelasan rasional pada siswanya mengapa mereka harus belajar matematika; 2. Menanamkan rasa percaya diri terhadap siswa bahwa mereka bisa belajar matematika, guru dapat memberikan latihan-latihan soal yang relatif mudah sehingga mereka bisa
mengerjakan soal-soal tersebut;
3. Menghilangkan prasangka negatif terhadap matematika, dengan cara memberikan contoh-contoh yang sederhana sampai dengan yang kompleks tentang kegunaan matematika;
4. Membelajarkan matematika dengan berbagai metode yang bisa mengakomodir berbagai model belajar siswa;
5. Tidak mengutamakan hafalan dalam pembelajaran matematika;
6. Pada saat pembelajaran matematika, jadikan kelas matematika menjadi kelas yang menyenangkan dan nyaman;
7. Pada saat bertemu dengan siswa di manapun, jangan segan-segan untuk menyisipkan pembicaraan yang menyangkut tentang pembelajaran matematika kepada mereka;
8. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada siswa untuk memutuskan kesuksesan mereka.


KESIMPULAN
Tingkat optimal motivasi untuk suatu tugas yang diberikan akan sangat bergantung pada individu dan tugas itu sendiri. Tugas yang kompleks untuk seseorang bisa jadi relatif mudah bagi orang lain. Siswa yang merasa kurang cemas karena siswa tersebut mengetahui bahwa ia mampu mengatasi masalah yang dihadapi maka ia akan dapat menggunakan kecemasaannya dalam menyelesaikan masalah. Kecemasan dapat menjadi stimulus yang berguna. Oleh karena itulah, tugas seorang guru untuk mengarahkan kecemasan tersebut menjadi hal yang positif.


DAFTAR PUSTAKA

Alsa, A. 1984. Usia Mental, Jenis Kelamin, dan Prestasi Belajar Matematika. Jurnal Psikologi Pendidikan, 12, 1, 22-29.

Dacey, J.S. 2000. Your Anxious Child: How Parents and Teachers can Relieve Anxiety in Children. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

Freedman,    Ellen,     2012.    Do    You    Have   Math    Anxiety?   A    Self    Test,    dalam www.mathpower.com/anxtest.htm.

Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

Yogyakarta, 9 November 2013


Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 10, No. 2, June 2010, pp. 78 – 89.

2.
A case study of cooperative learning and communication pedagogy: Does working in teams make a difference?

Mina Tsay1 and Miranda Brady2


Abstract: Cooperative learning has increasingly become a popular form of active pedagogy employed in academic institutions. This case study explores the relationship between cooperative learning and academic performance in higher education, specifically in the field of communication. Findings from a questionnaire administered to undergraduate students in a communication research course indicate that involvement in cooperative learning is a strong predictor of a student’s academic performance. A significant positive relationship was found between the degree to which grades are important to a student and his or her active participation in cooperative learning. Further, the importance of grades and sense of achievement are strong predictors of performance on readiness assessment tests.


Keywords: cooperative learning, active learning, team-based learning, group achievement, communication pedagogy.



I.          Introduction.


One of the greatest and inevitable challenges educators face is determining the most effective teaching strategies for their students. Understanding and assessing student involvement in learning can help teachers design the most effective curriculum and determine how students best learn. In addition, instructors must consider which skills will be most practical for students entering a workforce where building relationships and productivity go hand-in-hand. To meet the demand, many educators are using active learning pedagogies, such as cooperative or team-based learning. Active learning in the context of higher education is often a social and informal process where ideas are casually exchanged through student involvement and intellectual and interpersonal activities (Menges and Weimer, 1996). Bonwell and Eison (1991) conceptualize active learning as a process involving students not only “doing” things, but analyzing what they are doing.
Cooperative learning is one of the most commonly used forms of active pedagogy. Taking place through an individual’s interaction with his or her environment and peers, cooperative learning is largely based on the idea that students learn through social contexts (Adams and Hamm, 1994). While cooperative learning has been found to be an effective pedagogical tool in a broad range of subjects, limited research explores this form of active pedagogy as it pertains to higher education, and specifically the communication field. This study contributes to ongoing research in active learning pedagogy through a case study examining therelationship between student involvement in cooperative learning and academic achievement in an undergraduate communication research methods course.


II.         Background.


A. Benefits of Cooperative Learning.


Cooperative learning became a commonly used form of active pedagogy in the 1980’s, and continues to be a valuable tool for learning in academic institutions today (Johnson, Johnson, and Smith, 2007), as it provides benefits for both students and instructors (Shimazoe and Aldrich, 2010). Slavin (1996) described cooperative learning as teaching methods in which students work together in small groups to help one another learn academic content. Johnson, Johnson, and Smith (1991) outlined several central elements comprising cooperative learning including positive interdependence, individual accountability, face-to-face promotive interaction, appropriate use of collaborative skills, and group processing, as will be discussed further. Studies on cooperative learning have indicated its positive relationship with student achievement and attitudes about learning (Slavin, 1989; Johnson and Johnson, 1989; Johnson et al., 2007). Cooperative learning has also been found to enhance social and intellectual development (Cohen, 1984; Burton, 1987) and help students build interpersonal skills while promoting a sense of achievement, productivity, and psychological well-being (Nilson, 1998). Further, researchers reported, “…students worked significantly harder for and learned more from the cooperative learning components than from the traditional lecture and text-based components” of courses studied (Carlsmith and Cooper, 2002, p. 132).
One possible explanation for cooperative learning’s success is that effective learning often occurs through an individual’s interaction with his or her environment, and language is the means by which learning and meaning are made conscious to the student. Interaction with others enables students to make sense of what they are learning as they become responsible for articulating and discussing class content with their peers (Adams and Hamm, 1994). Rushatz (1992) suggested that, “Cooperative learning strategies strive to create group situations that will foster support and feedback systems while developing decision making, problem solving, and moreover, general social interaction skills” (p. 5). Webb (1985) found that students exhibited signs of higher understanding when they were responsible for teaching concepts to their classmates and when their classmates taught concepts to them. Moreover, group members were more inclined to help other members learn concepts when the entire group’s grade depended on each student’s understanding of the subject. Team-based learning also provides opportunities for discussion and clarification of ideas (Gokhale, 1995). Interaction with peers offers students the chance to learn from one another’s scholarship, skills, and experiences. Further, group discussions may force students to confront counter-arguments, encourage them to think beyond their own perspectives, and help improve respect for diversity (Cooper, Robinson, and McKinney, 1993; Slavin, 1983).
Several decades of empirical research have documented the effectiveness of cooperative learning in higher education. Johnson and Johnson (1986) found that cooperative teams achieve greater levels of thought and retain information longer than students who work on an individual basis. This form of active learning provides students with the opportunity to not only engage in discussion, but also become critical thinkers (Totten, Sills, Digby, and Russ, 1991). Totten et al. (1991) provided support that cooperative learning not only helps achieve higher retention, but
also encouraged students to become more motivated to take greater responsibility for their own learning and participate in class discussions. Similarly, Gokhale (1995) examined the efficacy of team-based learning on test achievement at the collegiate level, and findings indicated that students who studied in a group performed better on tests. In addition, those who worked in teams scored higher on a test assessing critical thinking when compared with students who studied individually.


B. Elements of Cooperative Learning.


Johnson, Johnson, and Smith (1991) suggested that cooperative learning is more than simply “working in groups,” and should include the following: 1) positive interdependence where team members are reliant on one another to achieve a common goal, and the entire group suffers the consequences if one member fails to do his or her work; 2) individual accountability where each member of the group is held accountable for doing his or her share of the work; 3) face-to-face promotive interaction where, although some of the group work may be done on an individual basis, most of the tasks are performed through an interactive process in which each group member provides feedback, challenges one another, and teaches and encourages his or her group mates; 4) appropriate use of collaborative skills where students are provided with the opportunity to develop and implement trust-building, leadership, decision-making, communication, and conflict management skills; and 5) group processing in which team members establish group goals, the assessment of their performance as a team occurs periodically, and they often identify changes that need to be made in order for the group to function more effectively.
According to Johnson and Ahlgren (1976) and Johnson et al. (2007), group dynamics play an important role in effective collaboration, and positive interdependence or cooperation is key to a group’s ability to accomplish a common goal, while “competitively structured groups” can be a hindrance. Positive interdependence exists when individuals perceive that they can reach their goals if and only if the other individuals with whom they are cooperatively linked also reach their goals and, therefore, promote each other’s efforts to achieve the goals” (Johnson et al., 2007, p. 16). However, as Onwuegbuzie, Collins, and Jiao (2009) point out, individual accountability is key to the success of the overall group and helps to prevent “social loafing,” or reduced individual effort resulting from too much dependence on other group members (p. 272).


C. Feedback, Evaluation, and Motivational Systems.


Reward structures, evaluation, and feedback are also important in guiding individual and group performance in the classroom and can help to gauge whether progress is actually being made through cooperative learning. Meyers (1997) suggested that many different forms of assessment should be implemented into small group activities, including the evaluation of presentations, assignments, and projects. Feedback from both the instructor as well as immediate feedback from the group are important forms of evaluation (Rushatz, 1992; Webb, 1985). However, Carlsmith and Cooper (2002) argued that the effectiveness of peer review may be limited if a sense of competition is held by students toward one another and adversely affects honest feedback. Additionally, students may hold the fear that their peers will find out how they rated them. To counter such a fear, removing students from their groups when filling out peer reviews likely elicits more honest responses. Another factor, which may dissuade competition and promote cooperation, is to use a “criterion-referenced grading system” to evaluate group work rather than grading on a curve (Nilson, 1998).


D. An Integrated Approach.


Interactivity among students and teacher-student interactions are still integral to the classroom environment, particularly for feedback and guidance (Astin, 1993). The shift of the responsibility of learning onto the student can be an adjustment in the classroom, especially when students no longer see teachers as authority figures (Johnson et al., 1991; Nilson, 1998; Rhem, 1992). As Nilson (1998) states, “Introducing greater cooperation in the classroom requires role shifts for both students and instructors” (p. 110). With this new dynamic, instructors who may be more accustomed to the “banking” system of education (Freire, 1970), must adjust to the idea of relinquishing some control, while maintaining control over the direction of their students’ learning. In light of the discomfort that may result from shifting more learning responsibility onto the student, it is important for instructors to know that they can assume a successful integrated approach by combining cooperative learning and other established teaching strategies (Millis, 1990; Treisman, 1986).


E. Research Question and Hypotheses.


Although a great deal of work has explored active learning pedagogy in a variety of disciplines, this study specifically explores the efficacy of cooperative learning in the communication field. Examining how cooperative learning relates to student performance in a college level communication course raised the research question:
RQ: What is the relationship between student involvement in cooperative learning and academic performance in a communication research methods course?


Prior research on active learning has supported the effectiveness of cooperative learning on test achievement (e.g., Felder and Brent, 1994). Findings on team-based learning suggest that this pedagogical method is successful in promoting both problem-solving and critical-thinking skills. Students who perceive grades as important in a class are also expected to perform better academically than those who attribute less importance to grades. Further, an essential element of cooperative learning is one’s contribution to help achieve the group’s goal (Johnson et al., 1991; 2007). This form of active pedagogy is centered on the notion of teamwork and group orientation, interdependence, and success. Those who view accomplishment and the attainment of satisfaction through the group are predicted to be greater participants in the cooperative learning process. For these reasons, the following hypotheses are tested:
H1: Student involvement in cooperative learning is positively associated with academic performance.
H2: The importance of grades to a student is positively associated with academic performance.
H3: The importance of group success to a student is positively associated with involvement in cooperative learning.


III.       Method.


A. Participants.


Twenty-four undergraduate students in a communication research course were recruited at a large Northeastern University, with implied consent obtained prior to their participation in the study. The objective of the course was to introduce to students social science research methods employed in the field of communication, including surveys, experiments, and content analysis. The sample was comprised of 40.2% males and 59.8% females, with ages ranging from 18 to 22 years (M = 19.23, SD = 0.97). Participants consisted of 87.5% Whites, 5.5% Asians, 3.2% African Americans, 2.1% Hispanics, 1.2% American Indians, and 2.5% with no indication of race.


B. Procedure.


At the start of the semester, the instructor designated groups comprised of four to six students for the purpose of completing a class research project and a series of readiness assessment tests (RATs). These groups remained consistent throughout the semester. On the day that the survey was administered, all 24 students who were enrolled in the course were required to sit with their assigned group members upon arrival. Each member in a group was assigned a number code and required to write down the codes of their group members on a separate piece of paper for reference. Students were then asked to disperse themselves in the classroom and sit apart from their group members. Each student individually completed a set of questions, which evaluated each group member’s performance in a series of group exercises. Participants were told that responses would remain confidential and would not be shown to the instructor or their peers. After completion of questionnaires, all surveys were turned in to the researchers, and the students were instructed to discard the sheets listing the student codes to assure the anonymity of their group members.


C. Measures.


Participation in cooperative learning and student perception of learning. The independent variable in this study was involvement in cooperative learning. One of the primary requirements for the research methods course entailed student cooperation in groups on a research project throughout the semester. Over the course of four months, students were expected to complete a variety of research exercises related to their project during and outside of class in order to accomplish the following tasks: propose research questions, design a methodology to answer these questions, collect and analyze data, and discuss findings and conclusions. Based on the focus of group work in the course, the survey consisted of 13 items assessing a student’s active participation in cooperative learning. Responses were made on a Likert-percentage scale from 0(never) to 100(always). Based on the literature and the elements that Johnson et al. (1991) suggested to take place in the cooperative learning process, this study assessed cooperative learning as it is comprised of seven components: group processing, motivation, competition, dependability, accountability, interactivity, and use of collaborative skills. Group processing was measured by a student’s ability to help accomplish a group’s goal and provide constructive feedback to others in the group. Motivation was measured by a student’s desire to take part in the group activity. Competition was assessed by how much the student cared about doing better than other students. Dependability was measured by the degree to which others depend on a student and vice versa to help achieve the group’s goal. In addition, it incorporates the extent to which a group member comes to class prepared for the activity. Accountability was assessed by the extent to which a student does his or her share of the group work and if he or she appears to have learned all of the material involved in the project. Interactivity was measured by the degree to which a group member cooperates with others in a team, the extent to which the group and the student learn from each other, and how much one contributes his or her ideas to the group. Lastly, the use of collaborative skills was assessed by one’s contribution of his or her skills to the group. In addition to measuring students’ involvement in cooperative learning, the importance of four factors was also assessed: the degree to which sense of achievement, grades, peer acceptance, and group success are important to the student. Responses were made on a Likert-scale from 1(not important) to 7(very important).


Academic performance. The dependent variable in this study was academic performance. Academic performance was assessed by the student’s individual scores on a series of RATs, group scores on RATs, and final grade in the class. Tests were scored and provided by the instructor of the course.


RATs. RATs are short, closed-book quizzes consisting of about 12 multiple-choice questions on a particular topic covered in class. Assigned readings from the textbook and a study guide are provided to students before the topic is covered. Quizzes are administered at the beginning of class and a total of six quizzes are given throughout a four-month period or semester. The quizzes are first taken individually and turned into the instructor. Then, students complete the same quiz with their assigned group members. After taking the quiz as a group, the answer sheet is turned into the instructor and graded. Each group will be given up to five minutes to appeal for incorrect answers. If the instructor accepts the appeal, both the group and individual scores will be changed accordingly.


Final grade. The student’s final grade in the class was calculated as follows: individual RATs, group RATs, a final project, mid-semester assignments related to the project, and in-class exercises, each accounting for 20% of the final course grade.


IV.       Results.


Based on the conceptual definition of cooperative learning and the grouping of the seven components previously discussed (group processing, motivation, competition, dependability, accountability, interactivity, and use of collaborative skills), the 13 items measuring involvement in cooperative learning were subjected to a reliability analysis. One item, which measured the degree to which the particular group member depended on the peer evaluator to accomplish the group goal, was excluded from further analysis because it was not internally consistent with the other items. Therefore, a mean index of the 12 items was constructed to represent the cooperative learning score for each student (Cronbach’s a = 0.98). Academic performance had three separate

components: individual performance on the six RATs (M = 77.61, SD = 1.08), group performance on the six RATs (M = 92.94, SD = 0.88), and final course grade (M = 87.79, SD = 1.56).

Bivariate correlations were employed to test the relationship between involvement in cooperative learning and academic performance. Significant positive relationships were found between student involvement in cooperative learning and each of the three components assessing academic performance, supporting the first hypothesis (see Table 1). Findings indicate that the more actively a student participated in cooperative learning, the higher a student scored on average on individual and group RATs and their final course grade.


Another set of analysis examined the level of importance of sense of achievement, grades, peer acceptance, and group success to a student in class. Bivariate correlations were performed to determine the relationships between these variables and involvement in cooperative learning and academic performance (see Table 2). Results indicated significant positive relationships between the importance of grades and involvement in cooperative learning, as well as that with academic performance on individual RATs and final course evaluation, showing support for the second hypothesis. The importance of sense of achievement was also a significant predictor of a student’s individual performance on RATs. However, no significant relationship was found between the importance of group success and involvement in cooperative learning, showing no support for the third hypothesis.

A regression analysis was carried out to examine the relationship between a student’s involvement in cooperative learning and a separate in-class peer evaluation administered by the instructor. The peer evaluation was conducted on the last day of class and required students to provide written open-ended evaluations about the ways in which each member, including himself or herself, contributed to the final group project. Students also indicated the percentage of contribution for each group member. Based on these percentage contributions, the instructor of the course scored each individual on a Likert-scale from 1(low) to 10(high) in terms of participation. Findings showed that a positive and significant relationship existed between student involvement in cooperative learning and peer evaluations (β = 0.26, p = 0.01).
In summary, results from the analyses suggest that involvement in cooperative learning is a strong predictor of a student’s academic performance in class. A significant relationship was also found between the degree to which grades are important to a student and his or her active participation in cooperative learning for group exercises. Furthermore, the importance of grades yielded as a strong predictor of individual performance on RATs and higher final course grades.


V.         Discussion.


The purpose of this case study was to examine the relationship between cooperative learning and academic performance pertaining to higher education in the field of communication. The empirical analysis provided considerable support that active participation in team-based learning has a positive relationship with a student’s academic performance. Overall, students who were heavy participants in group exercises exhibiting behaviors, such as helping to accomplish the group’s goal, coming to class prepared, providing constructive feedback to their peers, and cooperating with their team, had a higher likelihood of receiving better test scores and final course grades at the end of the semester. In other terms, students who were more engaged in group work also performed well outside of their groups, which was reflective of higher individual test scores and course evaluations. Moreover, the perception of grades holds significant weight in the degree to which a student participates in the cooperative learning process. Students who perceived grades as highly important were evaluated by their peers to be more active in cooperative learning, including wanting to take part in the group task, completing his or her share of the work, learning materials involved in the exercise, and verbally contributing ideas to the team.
Results from the study support the notion that cooperative learning is indeed an active pedagogy that works to foster higher academic achievement. Findings suggest that grades and group success hold greater importance to students than peer acceptance and sense of achievement, despite literature indicating the weight of interdependency on group success (Johnson et al., 1991). Grades may be a strong extrinsic motivator for students, and thus their level of importance may have been a predictor of how much effort students put in to learning their course materials or preparing for assessment tests. Furthermore, their perception of grades may encourage them to participate more in group exercises since they are driven by the attainment of the final group score, as it greatly affects individual scores. In this particular communication course, group exercise grades can only help a student’s final course grade. Thus, viewing group opportunities as a form of extra credit and the group RAT scores as a reflection of the success of the team were potential factors that could have encouraged students to be more active participants in cooperative learning.

The data also provide support that the degree to which a student’s sense of achievement was important to himself or herself predicted test performance on an individual basis. Sense of achievement is the feeling or awareness of personal accomplishment and success. Thus, it is logical that students who view this aspect of learning to be important may perform better on tests in accordance with Slavin’s (1978) description of rewards structures.
Although an extensive body of research confirms the effectiveness of cooperative learning in higher education (Astin, 1993; Cooper, Prescott, Cook, Smith, and Cuseo, 1990), cooperative learning has several limitations. Instructors are often confronted with resistance and hostility from students who believe they are being held back by slower teammates (Shimazoe and Aldrich, 2010). In addition, such negative reactions come from the other side where weaker and less assertive students complain of being belittled or ignored by more responsive students. This study did not examine the factors that could potentially hinder student participation in cooperative learning. The desire to take part in a task and the significance of achievement and grades to students may only be limited factors that affect the degree to which a student is active in a group setting. The omission of additional variables in this study may explain why the predicted relationship between the importance of group success and involvement in cooperative learning was not significant.
As discussed, a limitation of using peer reviews is that students may feel a sense of competition toward one another, which could affect their evaluations. By moving students away from their groups while evaluating participation and by assuring them that the instructor and other students would not see the reviews, this study attempted to discourage a sense of competition and make students feel that their answers were confidential. Another limitation was that the questionnaire was administered to a small convenience sample comprised of a relatively homogenous group of undergraduate students. It is important to acknowledge that this research serves as a case study to examine the efficacy of cooperative learning in a communication research methods course. Therefore, the findings presented should be interpreted with caution in terms of generalizing them to a larger population or another culture. Future research may consider applying the same methods to study other research methods courses, as well as classes that require the same or greater demands of group work. Moreover, this study was a cross-sectional survey designed specifically to study associations between academic performance and cooperative learning rather than to draw conclusions about the effects of cooperative learning. However, despite the fact that the present research is not an experimental study, findings do indicate a positive relationship between active participation in cooperative learning and academic performance.
The relationships observed in this study apply to team-based learning in the communication discipline. This research examined the relationship between involvement in cooperative learning and academic performance and how factors, such as perceptions of grades and sense of achievement, are predictors of a student’s performance in class. However, future research may explore other variables, including prior background and success in active pedagogy, student learning preferences, and interpersonal relationships among peers, which may play an integral role in the process of cooperative learning. In addition, variations in demographic factors, such as socioeconomic status, race, and gender, were not examined in the study and may influence the degree of active group involvement, familiarity, and comfort level with team members.
Other research opportunities exist in exploring how cooperative learning has progressed over the past decades. With an increasing trend of students pursuing higher education, the



question remains whether this form of active pedagogy is better suited and appropriate for smaller classes. Or, do larger lecture-oriented classes adequately provide students with the comprehensive benefits of enhancing their critical thinking and analytical skills? Furthermore, is it possible to implement active pedagogy in classes that are hundreds of students in size, exist completely online, or are hybrids delivered via face-to-face and computer-mediated-communication? Changes in higher education across disciplines may encourage modifications in the way professors select and implement their teaching strategies. With the rise in new digital media technologies and Web 2.0, smart classrooms equipped with online capabilities, and the use of course management tools and social media outlets (e.g., Wikis and Facebook), cooperative learning is in the process of being reconceptualized as a pedagogical concept. With the growing number of students in colleges and universities, it is necessary to examine the role cooperative learning plays in today’s transforming academic institutions and the direction it will take in higher education in the future.


Acknowledgements


The authors would like to thank Dr. Anne M. Hoag and Dr. Srividya Ramasubramanian, as well as the editor and blind reviewers of the Journal of the Scholarship of Teaching and Learning for their support and feedback on various stages of this study.


References


Adams, D. M., and Hamm, M. (1994). New designs for teaching and learning. San Francisco, CA: Jossey-Bass Inc.


Astin, A. W. (1993). Assessment for excellence: The philosophy and practice of assessment and evaluation in higher education. New York, NY: Oryx Press.


Bonwell, C. C., and Eison, J. A. (1991). Active learning: Creating excitement in the classroom. ASHE-ERIC Higher Education Reports. Washington, DC: The George Washington University, School of Education and Human Development.


Burton, C. B. (1987). Problems in children’s peer relationships: A broadening perspective. In L. G. Katz (Eds.), Current topics in early childhood education (Vol. 4). Norwood, NJ: Ablex



Tidak ada komentar:

Posting Komentar