disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan Peserta Didik pada
Jurusan Pendidikan Matematika

DISUSUN OLEH :
SRI RAHMAYUNI
2225141755
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT., karena rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul Mengatasi Kecemasan
Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Menerapkan Kooperatif Learning.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw., beserta keluarga, sahabat serta umatnya dan senantiasa setia hingga akhir
zaman.
Makalah ini dibuat sebagai salah
satu syarat mengikuti Pembelajaran Mata Kuliah Psikologi Pendidikan dan
Bimbingan Peserta Didik di Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan
Imu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tahun akademik 2015.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik isi maupun bentuk penulisannya karena keterbatasan
pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya untuk penulis selaku penyusun dan umumnya untuk pembaca.
Serang, April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………….………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………..…..…...…..ii
DAFTAR ISI……………………………….………………………….…………...…….iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang…………………………………………...……………..………….1
1.2
Rumusan Masalah…………………………………….......……………………......2
1.3
Tujuan Penelitian…………………………………….……………..…….………...2
1.4
Metodologi Penelitian……………………………………………...………………2
1.5
Sistematika Penulisan………………………………………………........................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Kecemasan Siswa Dalam
Pembelajaran Matematika…………...………4
2.2 Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran
Matematika……………………………7
2.3 Mengatasi
Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Cara Menerapkan Kooperatif
Learning…………………………………………...……13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………...…...17
3.2 Saran………………….....……………………………...……………………...….17
DAFTAR PUSTAKA……….……………..……………………………...……...……….18
LAMPIRAN………………….....…………………...……………………………...…….19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sekolah merupakan lembaga pendidikan
formal yang disediakan pemerintah dan masyarakat bagi peserta didik untuk
mengikuti semua mata pelajaran sesuai kurikulum yang berlaku agar mencapai
tujuan pendidikan nasional. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran
penting dipelajari di
sekolah, karena berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai bahasa dan
alat dalam pengembangan sains dan teknologi (Sembiring, 2002). Cockrof dalam
Abdurrahman (1999 : 253) menyebutkan perlunya belajar matematika, yaitu
matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang studi
memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, matematika merupakan sarana
komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas, matematika dapat digunakan untuk
menyajikan informasi dalam berbagai cara, matematika dapat meningkatkan
kemampuan berpikir logis, teliti, dan matematika dapat memberikan kepuasan
terhadap usaha untuk memecahkan masalah yang menantang.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa
matematika berguna dan erat kaitannya dengan segala segi kehidupan manusia,
khususnya bagi peserta didik. Namun kenyataannya, matematika dianggap sebagai
momok bagi peserta didik. Anggapan
tersebut menjadi masalah klasik yang terjadi pada hampir semua jenjang
pendidikan bahwa matematika
sebagai pelajaran yang sulit. Hal ini sesuai yang dikemukakan Abdurrahman (1999 : 252) bahwa dari berbagai bidang
studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang
dianggap paling sulit bagi para siswa, baik bagi siswa yang tidak berkesulitan
belajar maupun bagi siswa yang berkesulitan belajar.
Anggapan semacam ini mempengaruhi
kecemasan, dan berakibat pada rendahnya kemampuan peserta didik terhadap
matematika. Menurut Alamolhodaie (200) bahwa kecemasan matematika adalah kondisi mental pada seseorang ketika menantang isi matematika baik dalam situasi pengajaran dan belajar, dalam
memecahkan masalah matematika atau dalam menilai perilaku matematika. Situasi ini biasanya memprovokasi dengan kecemasan
terlalu banyak, gangguan mental dan tidak perhatian, dikenakan berpikir, ketegangan mental, dan
akibatnya mental yang blok. Selanjutnya, Aboulghassemi
(2003) bahwa konsekuensi dari kecemasan matematika berujung pada
kekecewaan, pelupa, depresi, kesalahpahaman,
dan penyakit dalam prosedur pengolahan informasi. Elliot dkk (1996 : 342) bahwa pada
dasarnya kecemasan berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, dapat
meningkatkan dan menurunkan motivasi dan hasil belajar matematika.
Mengatasi kecemasan peserta didik
dalam mempelajari matematika dapat diterapkan pembelajaran kooperatif. Muhammad Nur (2005: 1) mengatakan
bahwa model pembelajaran kooperatif dapat memotivasi seluruh siswa,
memanfaatkan seluruh energi sosial siswa, saling mengambil tanggungjawab. Disamping mengurangi kecemasan, pembelajaran kooperatif juga
mengurangi perilaku menghindari bantuan dan meningkatkan prilaku
mencari bantuan pada peserta didik. Pengelolaan
pembelajaran dengan metode kooperatif memiliki organisasi yang lebih
mendalam dan dengan peluang disesuaikan untuk
siswa, esensi kerjasama, solidaritas, dan partisipasi disampaikan pada siswa.
Melalui diskusi, konsultasi, dan mencari bantuan, para siswa memperoleh kemampuan untuk menghapus masalah belajar mereka, mengajukan solusi yang berbeda, dan saling mengatasi
kesulitan atau permasalahan matematika yang dialaminya.
1.2 Rumusan
Masalah
a. Apa
Penyebab Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika ?
b. Bagaimana
Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran Matematika ?
c. Apakah
Menerapkan Kooperatif Learning dapat Mengatasi Kecemasan Siswa Dalam
Pembelajaran Matematika ?
1.3 Tujuan
Penelitian
a. Untuk
mengetahui Penyebab Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika
b. Untuk
mengetahui Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran Matematika
c. Untuk
mengetahui pengaruh kooperatif learning dalam pembelajaran matematika.
1.4 Metode
Penelitian
Metode
penelitian ini menggunakan studi literatur dimana penulis menggunakan referensi
berupa buku yang berjumlah satu buah yang berjudul Psikologi Pendidikan. Selain
itu juga, penulis menggunakan beberapa referensi dari internet yang dapat
dipertanggungjawabkan kevalidannya serta jurnal dari dalam maupun luar negri
yang berjudul “Mengelola Kecemasan
Siswa
Dalam Pembelajaran Matematika” dan “A Case Study Of Cooperative Learning And
Communication Pedagogy: Does Working In Teams Make A Difference?” .
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah
ini terdiri dari tiga bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi
latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab
dua merupakan pembahasan yang menguraikan tentang Penyebab Kecemasan Siswa
Dalam Pembelajaran Matematika, Kooperatif Learning Dalam Pembelajaran
Matematika. Selain itu juga, penulis memaparkan pengaruh kooperatif learning
dalam pembelajaran matematika.
Dalam
bab tiga disampaikan simpulan dan saran. Selain itu, makalah ini juga
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Kecemasan Siswa Dalam
Pembelajaran Matematika
Dapat
diduga bahwa seara umum, kecemasan matematika disebabkan oleh dua faktor utama
yaitu faktor intern siswa dan faktor ekstern. Faktor intern berhubungan dengan
tingkat inteligensi, disiplin belajar/disiplin diri, dan persepsi siswa
terhadap matematika. Faktor ekstern bisa berasal dari guru,
masyarakat/lingkungan dan kebijakan sekolah.
Beberapa
hal yang secara teoritis diduga sebagai faktor penyebab timbulnya kecemasan
matematika dijelaskan sebagai berikut:
1. Sifat matematika yang abstrak.
Berbeda dengan ilmu
pengetahuan lain, matematika tidak mempelajari objek-objek yang secara langsung
dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda
pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari hasil
pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun dalam
perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak.
2. Belajar matematika lebih mengandalkan
penalaran dan logika daripada sekedar pengamatan indra
Objek kajian matematika
adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuanya itu berperan dalam
membentuk proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya adalah adanya
alur penalaran yang logis. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain,
matematika relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan kemampuan berpikir
tinggi dalam mempelajarinya.
3. Persepsi siswa dan persepsi masyarakat
bahwa matematika itu sulit
Persepsi umum bahwa
matematika itu ilmu paling sulit, telah mengkooptasi pikiran sebagian anak.
Siswa yang sedang belajar matematika ikut menilai bahwa matematika itu sulit.
Karena lebih dahulu menganggap sulit, maka siswa mengalami apa yang disebutmenyerah
sebelum mencoba. Jika siswa memiliki persepsi yang positif terhadap
matematika maka kemungkinan tingkat kecemasannya kecil. Sebaliknya jika siswa
menganggap matematika terlalu sulit, maka ia akan takut dan cemas pada
matematika.
4. Tingkat inteligensi siswa
Siswa dengan tingkat
inteligensi bagus akan mudah memahami materi matematika atau mudah mengerjakan
sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini cenderung tidak
cemas terhadap matematika.
Sebaliknya, jika
tingkat inteligensi siswa rendah, maka ada kemungkinan ia sulit memahami materi
matematika dan sulit melakukan sesuatu yang berhubungan dengan matematika.
Siswa seperti ini akan cemas dengan matematika.
5. Disiplin belajar/disiplin diri
Jika siswa disiplin
dalam belajar, maka ia akan melakukan belajar secara kontinu dan teratur.
Kebiasaan ini membuat siswa mudah menguasai materi matematika dan ia tidak akan terlalu
cemas.
6. Kekeliruan metode pembelajaran dan
sikap guru
Ada fenomena umum bahwa
pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru menjelaskan materi pelajaran
dan membahas contoh soal. Kemudian memberikan soal latihan kepada siswa.
Pembelajarn seperti ini tentu kurang bermakna, dan membuat siswa cenderung
mengikuti contoh saja. Siswa menjadi manja dan pikirannya tidak berkembang,
siswa tidak mendapat kesempatan mengeksplorasi dan mengekspresikan
kemampuannya. Jika menemukan soal yang lebih sulit, maka siswa merasa tertekan.
Pembelajaran matematika tidak menjadi kesempatan untuk melatih olah pikir,
melainkan matematika dipahami dengan cara menghafal.
7. Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang
baik
Adalah kebiasaan umum
bahwa guru dan orang tua menghendaki siswa memperoleh prestasi belajar yang
baik. Jika siswa mendapat nilai rendah, ia dimarahi atau diolok. Ini mengakibatkan
siswa merasa tertekan dan menganggap dirinya bodoh. Tanpa disadari, hal ini
menjadi beban atas diri siswa. Siswa akan cenderung berorientasi pada hasil
atau nilai yang tinggi dalam matematika, dengan tujuan asal bapak senang, terhindar
dari hukuman dan olokan. Siswa
mengabaikan proses belajar.
Syah
(2012:184-185) menjelaskan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan
belajar yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:
a. Faktor Internal Siswa,
Faktor
internal meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa yang dapat
bersifat kognitif.
b. Faktor Eksternal
Faktor
eksternal meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar siswa
(lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah);
c. Kejenuhan Belajar
Kejenuhan
belajar yaitu rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak
mendatangkan hasil (Reber dalam Syah, 2012).
d. Kelelahan
Kelelahan
dapat menjadi faktor pemicu kecemasan matematika karena siswa tidak dapat
melanjutkan proses belajarnya yang sudah pada batas kemampuan jasmaniahnya.
Freud dari Ahli Psikoanalisis, Calvin S. Hall dari
Ahli Kultural dan Mowrer dari Ahli Teori Belajar bersepakat untuk menggabungkan
pendapat masing-masing, menjadi dua faktor yang mempengaruhi kecemasan (dalam
Soeharjono, 1988), yaitu:
1.
Mikrokosmos (keadaan diri individu)
a.
Sifat dasar konstitusi individu sejak lahir yang meliputi: emosi, tingkah laku,
dan proses
berpikir
individu.
b.
Keadaan biologi individu seperti jenis kelamin.
c.
Perkembangan individu yang dapat dilihat dari usia individu.
2.
Makrokosmos (keadaan lingkungan)
a.
Orang tua atau keluarga dirumah.
b.
Sekolah (kelas), tetangga, teman-teman.
c.
Masyarakat, meliputi: keadaan sosial, budaya, lingkungan agama, dan sebagainya.
Adapun beberapa hal
yang menyebabkan ketakutan anak terhadap matematika. (kutipan jurnal)
Menurut Skemp (1971:
129-131), salah satu sebab utama kecemasan siswa adalah otoritas guru. Perlu diingat bahwa setiap kali skema yang diperlukan dalam pemahaman tidak hadir dan tersedia dalam pikiran siswa, apapun pembelajaran yang terjadi hanya didasarkan atas apa yang siswa terima dari otoritas guru. Belajar dengan cara tersebut adalah rote-learning
(hafalan) bukan schematic-learning (secara skema). Pembelajaran tersebut mungkin tidak akan diawali dengan kecemasan siswa. Masalahnya adalah sulit membedakan antara anak yang
cerdas dan anak yang mau/bisa menghafal banyak proses dasar matematika dengan baik dibanding berdasarkan pemahaman. Cepat atau lambat akan terjadi kecemasan pada siswa. Hal
tersebut dapat
terjadi karena dua hal, yaitu:
1.
Ilmu matematika yang dipelajari semakin maju dan kompleks yang tidak mungkin dapat dihafalkan dengan memori yang dimiliki siswa.
2.
Masalah rutin terbatas pada masalah-masalah tertentu dan tidak dapat diadaptasikan ke
masalah lain yang berbeda berdasarkan ide-ide matematika yang sama.
Oleh karena itu, pembelajaran skematik lebih cocok digunakan karena memudahkan siswa untuk beradaptasi dan mengurangi beban siswa dalam pemenuhan memori yang digunakannya untuk mengingat/menghafal. Pendekatan hafalan yang dilakukan siswa ataupun
guru hanya menghasilkan efek jangka pendek dan tidak ada retensi (ingatan) jangka panjang.
Kemajuan yang terhenti menyebabkan adanya kecemasan dan hilangnya kepercayaan diri.
(Kutipan jurnal)
2.2 Kooperatif
Learning Dalam Pembelajaran Matematika
a. Belajar Kooperatif (Cooperative Learning)
Sekitar tahun 1960-an,
belajar kompetitif dan individualistik telah mendominasi pendidikan di Amerika
Serikat. Siswa biasanya datang ke sekolah dengan harapan untuk berkompetisi dan
tekanan dari orang tua untuk menjadi yang terbaik. Dalam belajar kompetitif dan
individualistik, guru menempatkan siswa terpisah dari siswa yang lain.
Kata-kata “dilarang mencontoh”, “geser tempat dudukmu”, “Saya ingin agar kamu
bekerja sendiri” dan “jangan perhatikan orang lain, perhatikan dirimu sendiri”
sering digunakan dalam belajar kompetitif dan individualistik (Johnson &
Johnson, 1994). Proses belajar seperti itu masih terjadi dalam pendidikan di Indonesia
sekarang ini.
Jika disusun dengan
baik, belajar kompetitif dan individualistik akan efektif dan merupakan cara
memotivasi siswa untuk melakukan yang terbaik. Meskipun demikian terdapat
beberapa kelemahan pada belajar kompetitif dan individualistik, yaitu (a)
kompetisi siswa kadang tidak sehat, sebagai contoh jika seorang siswa menjawab
pertanyaan guru, siswa yang lain berharap agar jawaban yang diberikan salah,
(b) siswa berkemampuan rendah akan kurang termotivasi, (c) siswa berkemampuan
rendah akan sulit untuk sukses dan semakin tertinggal, dan (d) dapat membuat
frustrasi siswa lainnya (Slavin, 1995). Untuk menghindari hal-hal tersebut dan
agar siswa dapat membantu siswa yang lain untuk mencapai sukses, maka jalan
keluarnya adalah dengan belajar kooperatif.
Belajar kooperatif bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai
guru dan mungkin sebagai siswa kita pernah menggunakannya atau mengalaminya,
sebagai contoh saat bekerja dalam laboratorium. Dalam belajar kooperatif, siswa
dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 orang untuk bekerja
sama dalam menguasai materi yang diberikan guru (Slavin, 1995; Eggen &
Kauchak, 1996; Suherman, 2001). Artzt & Newman (1990:448) menyatakan bahwa
dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam
menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, setiap
anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan
kelompoknya.
Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok yang dibentuk
dengan tujuan untuk memaksimalkan belajar antara siswa (Johnson & Johnson,
1994). Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap (a) kontribusi
mereka dalam usaha mencapai tujuan dan (b) bantuan untuk anggota yang
membutuhkan (Johnson & Johnson, 1994).
Belajar kooperatif mempunyai ide bahwa siswa bekerja sama
untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya. Sebagai
tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok,
yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok mempelajari tujuan
(penguasaan materi) yang akan dicapai (Slavin, 1995). Johnson & Johnson (1994)
menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar
siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu
maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan
sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar
belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses
kelompok dan pemecahan masalah (Louisell & Descamps, 1992).
Zamroni (2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan
belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya
dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif
dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar
kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi
akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.
Ditinjau dari sudut
pandang perkembangan kognitif, belajar kooperatif berdasar pada pendapat Piaget
dan Vygotsky (dalam Johnson & Johnson, 1994). Menurut Piaget, ketika siswa
bekerjasama dalam suatu lingkungan, konflik sosiokognitif akan terjadi dan
membentuk ketidakseimbangan kognitif (disequilibrium). Lebih lanjut, Piaget berpendapat bahwa selama usaha kooperatif,
partisipan akan meningkatkan diskusi sehingga konflik kognitif terjadi dan akan
dipecahkan serta penalaran yang salah akan nampak dan akan segera dimodifikasi.
Menurut Vygotsky pengetahuan adalah bersifat sosial dan belajar terjadi dalam
interaksi sosial (dalam Ibrahim & Nur, 2000). Hal ini, sesuai dengan pendapat Bruner
(dalam Ibrahim & Nur, 2000) bahwa interaksi sosial merupakan hal yang
penting dalam belajar karena dapat berpengaruh pada perilaku pemecahan masalah
oleh siswa.
Menurut Johnson & Johnson (1994),
terdapat lima unsur penting dalam belajar kooperatif, yaitu seperti berikut
ini.
1. Saling ketergantungan yang bersifat
positif antar siswa
Dalam belajar kooperatif siswa merasa bahwa mereka
sedang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan dan terikat satu sama lain.
Seorang siswa tidak akan sukses kecuali semua anggota kelompoknya juga sukses.
Siswa akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kelompok yang juga
mempunyai andil terhadap suksesnya kelompok.
2. Interaksi antar siswa yang semakin
meningkat
Belajar kooperatif akan meningkatkan
interaksi antar siswa. Hal ini, terjadi dalam hal seorang siswa akan membantu
siswa lain untuk sukses sebagai anggota kelompok. Saling memberikan bantuan ini
akan berlangsung secara alamiah karena kegagalan seseorang dalam kelompok
mempengaruhi suksesnya kelompok. Untuk mengatasi masalah ini, siswa yang
membutuhkan bantuan akan mendapatkan dari teman sekelompoknya. Interaksi yang
terjadi dalam belajar kooperatif adalah dalam hal tukar menukar ide mengenai
masalah yang sedang dipelajari bersama.
3. Tanggung jawab individual
Tanggung jawab individual dalam belajar
kelompok dapat berupa tanggung jawab siswa dalam hal (a) membantu siswa yang
membutuhkan bantuan dan (b) bahwa siswa tidak dapat hanya sekedar “membonceng”
pada hasil kerja teman sekelompoknya.
4. Keterampilan interpersonal dan
kelompok kecil
Dalam belajar kooperatif, selain dituntut
untuk mempelajari materi yang diberikan seorang siswa dituntut untuk belajar
bagaimana berinteraksi dengan siswa lain dalam kelompoknya. Bagaimana siswa
bersikap sebagai anggota kelompok dan menyampaikan ide dalam kelompok akan
menuntut keterampilan khusus.
5. Proses kelompok
Belajar kooperatif tidak akan berlangsung
tanpa proses kelompok. Proses kelompok terjadi jika anggota kelompok
mendiskusikan bagaimana mereka akan mencapai tujuan dengan baik dan membuat
hubungan kerja yang baik.
Konsep utama dari
belajar kooperatif menurut Slavin (1995) adalah sebagai berikut.
1. Penghargaan kelompok, yang akan diberikan
jika kelompok mencapai kriteria yang ditentukan.
2. Tanggung jawab individual, bermakna bahwa
suksesnya kelompok tergantung pada belajar individual semua anggota kelompok.
Tanggung jawab ini terfokus dalam usaha untuk membantu yang lain dan memastikan
setiap anggota kelompok telah siap menghadapi evaluasi tanpa bantuan yang lain.
3. Kesempatan yang sama untuk sukses,
bermakna bahwa siswa telah membantu kelompok dengan cara meningkatkan belajar
mereka sendiri. Hal ini memastikan bahwa siswa berkemampuan tinggi, sedang
dan rendah sama-sama tertantang untuk melakukan yang terbaik dan bahwa
kontribusi semua anggota kelompok sangat bernilai.
b.
Keunggulan Belajar Kooperatif
Menurut Ibrahim dkk
(2000) belajar kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar
daripada dengan belajar kompetitif dan individualistik. Lebih lanjut, Ibrahim
dkk (2000) menyatakan bahwa belajar kooperatif dapat mengembangkan tingkah laku
kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa, dan dapat mengembangkan
kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari teman mereka dalam
belajar kooperatif daripada dari guru. Ratumanan (2002) menyatakan bahwa interaksi
yang terjadi dalam belajar kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan
memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Kardi & Nur (2000)
belajar kooperatif sangat efektif untuk memperbaiki hubungan antar suku dan
etnis dalam kelas multibudaya dan memperbaiki hubungan antar siswa normal dan
siswa penyandang cacat.
Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa
belajar kooperatif dapat digunakan dalam setiap jenjang pendidikan mulai taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dalam semua bidang materi dan dalam
sebarang tugas. Selain itu, Slavin (1995) menyatakan bahwa belajar kooperatif
telah digunakan secara intensif pada setiap subjek pendidikan, dalam semua
jenjang pendidikan dan pada semua jenis persekolahan di berbagai belahan dunia.
Uraian di atas, mendorong perlunya pelaksanaan
belajar kooperatif dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika.
Pelaksanaan belajar kooperatif sangat diperlukan karena dengan belajar
kooperatif dapat diperoleh bahwa (1) siswa dapat belajar lebih banyak, (2) siswa
lebih menyukai lingkungan persekolahan, (3) siswa lebih menyukai satu sama
lain, (4) siswa mempunyai penghargaan yang lebih besar terhadap diri sendiri,
dan (5) siswa belajar keterampilan sosial secara lebih efektif (Johnson &
Johnson, 1994).
Davidson (1991) memberikan sejumlah
implikasi positif dalam belajar matematika dengan menggunakan strategi belajar
kooperatif, yaitu sebagai berikut.
1. Kelompok kecil memberikan dukungan
sosial untuk belajar matematika. Kelompok kecil membentuk suatu forum dimana
siswa menanyakan pertanyaan, mendiskusikan pendapat, belajar untuk mendengarkan
pendapat dapat orang lain, memberikan kritik yang membangun dan menyimpulkan
penemuan mereka dalam bentuk tulisan.
2. Kelompok kecil menawarkan kesempatan untuk
sukses bagi semua siswa dalam matematika. Interaksi dalam kelompok dirancang
untuk semua anggota mempelajari konsep dan strategi pemecahan masalah.
3. Masalah matematika idealnya cocok untuk
diskusi kelompok, sebab memiliki solusi yang dapat didemonstrasikan secara objektif.
Seorang siswa dapat mempengaruhi siswa lain dengan argumentasi yang logis.
4. Siswa dalam kelompok dapat membantu
siswa lain untuk menguasai masalah-masalah dasar dan prosedur perhitungan yang
perlu dalam konteks permainan, teka-teki, atau pembahasan masalah-masalah yang
bermanfaat.
5. Ruang lingkup matematika dipenuhi oleh
ide-ide menarik dan menentang yang bermanfaat bila didiskusikan.
6. Matematika memberikan kesempatan untuk
berpikir kreatif, matematika menjelajahi situasi yang tidak terbatas, untuk
melakukan konjektur dan mengujinya dengan data, untuk mengajukan
masalah-masalah yang membangkitkan minat, dan untuk memecahkan masalah-masalah
yang tidak rutin, Siswa dalam kelompok sering dapat menangani situasi yang
menantang yang melebihi kemampuan individu pada tingkat perkembangan tertentu.
c.
Bentuk Belajar Kooperatif
a. Students
Teams Achievement Divisions (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin
dan koleganya di Universitas John Hopkin (Ibrahim dkk,. 2000; Ratumanan, 2002).
Dalam STAD, siswa dibentuk dalam kelompok belajar yang terdiri dari 4 atau 5
orang dari berbagai kemampuan, gender dan etnis. Dalam praktiknya, guru
menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam kelompok untuk memastikan bahwa semua anggota
kelompok telah menguasai materi. Selanjutnya, siswa menghadapi tes individual.
STAD mempunyai 5 komponen, yaitu (1) presentasi kelas, (2) kelompok, (3) kuis
atau tes, (4) skor individual, dan (5) penghargaan kelompok (Slavin, 1995).
b. Jigsaw II
Jigsaw dikembangkan
pertama kali oleh Elliot Aronson dan koleganya di Universitas Texas (Ibrahim
dkk., 2000; Ratumanan, 2002). Dalam belajar kooperatif bentuk jigsaw II, siswa
bekerja dalam kelompok seperti pada STAD. Siswa diberi materi untuk dipelajari.
Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi “ahli (expert)”
pada suatu aspek tertentu dari materi. Setelah membaca materi, “ahli” dari
kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik mereka dan kemudian
kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada
teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assesmen yang lain pada semua
topik yang diberikan.
c. Investigasi Kelompok
Investigasi Kelompok dikembangkan oleh
Shlomo & Yael Sharon di Univesitas Tel Aviv (Slavin, 1995). Investigasi
Kelompok adalah strategi belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke dalam
kelompok untuk melakukan investigasi terhadap suatu topik.
Perencanaan untuk melakukan bentuk
Investigasi Kelompok sama seperti pada bentuk belajar kooperatif yang lain.
Perencanaan Investigasi Kelompok melibatkan lima tahap, yaitu (1) menentukan
tujuan, (2) merencanakan pengumpulan informasi, (3) membentuk kelompok, (4)
mendesain aktivitas kelompok, dan (5) merencanakan aktivitas kelompok secara
keseluruhan. Tahap-tahap ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Seperti pada perencanaan, implementasi
aktivitas meliputi lima tahap yaitu (1) pengorganisasian kelompok dan
identifikasi topik, (2) perencanaan kelompok, (3) pelaksanaan investigasi, (4)
penganalisisan hasil dan mempersiapkan laporan, dan (5) penyajian laporan.
Masih banyak lagi
bentuk belajar kooperatif lainnya, misalnya Team
Assisted Instruction (TAI), Team
Game Tournament (TGT),
danThink Pair Share (TPS).
2.3 Mengatasi Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran
Matematika Dengan Cara Menerapkan Kooperatif Learning
Ada banyak faktor mujarab dalam memproduksi kecemasan matematika yang paling penting adalah situasi belajar dan
metode mengajar. Clut (1984) menunjukkan bahwa terdapat hubungan berarti antara kecemasan matematika dan metode pengajaran. Menurut
Powel dan Enright (1990) bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu
tehnik pengajaran yang sesuai yang
menyebabkan kurangnya kecemasan dan meningkatkan kesadaran diri siswa dari prosedur pembelajaran mereka. Pembelajaran kooperatif memberikan situasi belajar yang menyenangkan untuk semua siswa, karena siswa memiliki kesempatan yang sama, persaingan diubah
sebagai persahabatan, semangat kerjasama
dan partisipasi diperkuat, dan semua siswa berhak untuk menjadi bijaksana dan
kreatif (Keramati, 2001).
Karena esensi
dari masalah matematika memerlukan penggunaan teknik yang berbeda dalam
pemecahan masalah, penerapan metode memiliki peran penting dalam mengajar matematika. Sementara itu siswa, berkumpul dalam kelompok, dapat
mencapai prosedur pemecahan yang berbeda melalui diskusi dan konsultasi dan memperoleh berbagai
prosedur melalui bimbingan guru mereka (Ronald, 1997, dikutip oleh Keramati,
2002).
Menurut Slavin dalam (Sayed
Muhammad,2008) terdapat empat prinsip membawa perspektif memainkan peran yang
sangat penting dalam teknik mengajar,
yaitu : Prinsip pertama menekankan pada sifat sosial pembelajaran, yang menurut
anak-anak melalui interaksi dengan
orang dewasa dan teman sebaya yang lebih kompeten, mulai belajar. Prinsip ke-duamengemulasi Zona Proksimal Perkembangan. Vygotsky (1978) menjelaskan bahwa Perkembangan proksimal diperkirakan
berbeda antara "Perekembangan proksimal saat ini" kemampuan anak yang mandiri untuk memecahkan
masalah dan kemajuan "Pengembangan potensi
Proksimal" - kemampuan anak untuk memecahkan masalah dengan bimbingan orang dewasa atau kerjasama
dengan rekan yang lebih terampil. Prinsip ke-tiga adalah pelatihan kognitif dan berkaitan dengan proses dimana peserta
didik memperoleh kompetensi secara bertahap melalui interaksi dengan orang terampil (dewasa atau teman sebaya yang lebih tua dan lebih terampil). Prinsip ke-empat alamat yang menunjang pembelajaran yang mendukung melalui
media dalam pemikiran konstruktivis modern.
Selanjutnya,
pendekatan ini telah mendorong perilaku siswa yang lebih positif, juga
mengembangkan minat untuk sekolah dapat membantu untuk meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri pada siswa (Dehghan Shadkami, 2009). Temuan penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif meningkatkan kepercayaan dan saling menghormati, penurunankecemasan, mempromosikan meta-kognitif pengetahuan dan mendorong martabat diri dan antusias terhadap pembelajaran (Millis, 2010).
mengembangkan minat untuk sekolah dapat membantu untuk meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri pada siswa (Dehghan Shadkami, 2009). Temuan penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif meningkatkan kepercayaan dan saling menghormati, penurunankecemasan, mempromosikan meta-kognitif pengetahuan dan mendorong martabat diri dan antusias terhadap pembelajaran (Millis, 2010).
Suatu ciri pembelajaran kooperatif
adalah pembentukan kelompok-kelompk siswa. Pembentukan kelompok-kelompok untuk
menyelesaikan kegiatan matematika melalui diskusi antar peserta didik dan berhasil untuk menghasilkan
diskusi di antara mereka, di bawah bimbingan guru, dapat menghasilkan kesempatan yang cocok untuk membuat
pembelajaran kooperatif di kalangan siswa. Gerakan ini dapat meningkatkan
model yang
harus dipatuhi (implisit) dan kesiapan mental pada siswa, akibatnya, ia menghasilkan
pengetahuan matematika pada siswa. Oleh karena itu, peserta didik memiliki prospek
untuk meningkatkan kompetensi dirinya dan kepercayaan belajar matematika dalam situasi yang tidak memprihatinkan dalam
kelompok yang
sama didirikan dengan siswa yang kecemasan matematika tinggi. Hal
ini juga menciptakan kepercayaan bahwa mereka memiliki kemampuan komparatif dan kecukupan untuk mempelajari konsep-konsep matematika (Alamolhodaie,2000).
Disamping mengurangi kecemasan, pembelajaran kooperatif juga
mengurangi perilaku menghindari mencari bantuan
dan meningkatkan prilaku mencari bantuan pada siswa.Pengelolaan
pembelajaran dengan metode kooperatif memiliki organisasi yang lebih
mendalam dan dengan peluang disesuaikan untuk
siswa, esensi kerjasama, solidaritas, dan partisipasi disampaikan pada siswa.
Dengan tujuan untuk mencapai
kecerdasan, wawasan, dan pengetahuan, para siswa akan memperoleh kemampuan
untuk bekerja dalam kelompok
kooperatif, berkolaborasi satu sama lain, dan memeriksa bantuan dari yang lain. Melalui diskusi, konsultasi, dan mencari bantuan, para siswa memperoleh kemampuan untuk menghapus
masalah belajar mereka, mengajukan solusi yang berbeda, dan mempelajari panduan
yang berbeda dari guru-guru mereka dan pasangan mereka. Metode ini memberikan situasi bagi siswa untuk memahami
bahwa mereka tidak dapat mencapai
keberhasilan mutlak sendiri, dan mereka membutuhkan bantuan dari rekan-rekan mereka untuk melakukan tugas mereka.
Posamentier dalam Muhammad Nur (2005)
bahwa secara sederhana menyebutkan cooperative learning atau belajar secara kooperatif
adalah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan mereka
sebuah atau beberapa tugas. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran
yang didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam
kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar.
Pembelajaran kooperatif didasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa
bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas
belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Menurut Slavin
(dalam Krismanto, 2003: 14) menyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam
pengajaran secara khusus membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teori
siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila
mereka dapat saling mendiskusikannya dengan temannya. Pembelajaran kooperatif
merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah peran guru dari peran
yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil.
Menurut teori konstruktivis, tugas guru (pendidik) adalah memfasilitasi agar
proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri sendiri tiap-tiap siswa
terjadi secara optimal.
Results from the study support the notion that
cooperative learning is indeed an active pedagogy that works to foster higher
academic achievement. Findings suggest that grades and group success hold
greater importance to students than peer acceptance and sense of achievement,
despite literature indicating the weight of interdependency on group success
(Johnson et al., 1991). (kutipan jurnal)
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran kooperatif adalah suatu
tehnik pengajaran yang sesuai yang
menyebabkan kurangnya kecemasan dan meningkatkan kesadaran diri siswa dari prosedur pembelajaran mereka (Menurut Powel dan
Enright:1990). Pembelajaran kooperatif memberikan situasi belajar yang menyenangkan untuk semua siswa, karena siswa memiliki kesempatan yang sama, persaingan diubah
sebagai persahabatan, semangat kerjasama
dan partisipasi diperkuat, dan semua siswa berhak untuk menjadi bijaksana dan
kreatif (Keramati, 2001).
Metode ini
memberikan situasi bagi siswa untuk memahami bahwa mereka tidak dapat mencapai keberhasilan
mutlak sendiri, dan mereka membutuhkan bantuan dari rekan-rekan mereka untuk melakukan tugas mereka.
Pembelajaran kooperatif
yang
diterapkan secara memadai dapat
mengurangi kecemasan matematika, meningkatkan minat
belajar siswa, dan mengurangi
prilaku menghindari mencari bantuan. Oleh karena itu, guru dapat mendorong siswa untuk meminta bantuan
pemahaman dari
yang yang
dipandang memahami, terutama pada mata pelajaran matematika,
baik secara individu maupun dalam kelompok belajar. Karena kecemasan matematika adalah luas dalam situasi peserta didik yang berbeda, disarankan kepada
guru dan semua pihak berwenang agar
senantiasa memperkenalkan para guru tentang
pembelajaran kooperatif.
3.2 Saran
Semoga
makalah ini dapat membantu untuk menambah dan memperluas wawasan para pembaca
mengenai metode pembelajaran matematika dalam menghilangkan kecemasan siswa
pada matematika. Serta dapat mengimplementasikannya dalam kegiatan belajar
mengajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Purwanto Ngalim. 2013. Psikologi
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Wicaksono A.B. & Saufi M. 2013. Mengelola
Kecemasan Siswa Dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Psikologi Pendidikan
Tsay M. & Brady M. 2010. A Case Study Of
Cooperative Learning And Communication Pedagogy:Does Working In Teams Make A
Difference?. Journal Of The
Scholarship Of Teaching And Learning, Vol. 10, No. 2, June
2010, Pp. 78 – 89.
https://abdussakir.wordpress.com/2009/04/14/cooperative-learning-dalam-pembelajaran-matematika/ (Diakses
pada Sabtu, 18 April 2015 Pukul 20.00 WIB)
http://tyanfedi.blogspot.com/2013/11/kecemasan-matematika-math-anxiety.html
(Diakses pada Sabtu, 18 April 2015 Pukul 20.00 WIB)
LAMPIRAN
MENGELOLA KECEMASAN SISWA
1.
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Arief Budi Wicaksono1 M. Saufi2
1,2Pendidikan Matematika,
Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta
1aryev96math@gmail.com 2Saufi_yondaime@yahoo.co.id
Abstrak
Kecemasan merupakan salah satu faktor emosional siswa. Kecemasan adalah salah satu alasan mengapa hubungan interpersonal yang tepat sangat penting dalam
memahami matematika. Hal ini dikarenakan bahwa kecemasan itu sendiri dapat meningkat, bersifat subjektif, dan menyulitkan pemahaman. Siswa yang lebih cemas akan berusaha semakin keras, tapi pemahaman mereka akan semakin memburuk,
sehingga semakin membuatnya cemas. Oleh karena itu siswa belajar secara parsial.
Hal ini akan membentuk pengalaman interpersonal siswa.
Siswa yang merasa kurang cemas dalam pembelajaran matematika
dikarenakan siswa tersebut mengetahui bahwa ia mampu mengatasi masalah dalam
belajar matematika, maka ia akan dapat menggunakan kecemasaannya dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Kecemasan dapat menjadi stimulus yang berguna.
Adaptasi terhadap kecemasan adalah bagian dari cara mengatasi kecemasan dalam
pemecahan masalah. Pada makalah ini akan diuraikan beberapa hal yang mungkin
dapat
mengelola
kecemasan dalam pembelajaran matematika.
Kata kunci:
kecemasan, pembelajaran matematika
PENDAHULUAN
Kecemasan adalah salah satu alasan mengapa hubungan interpersonal yang baik penting
dalam memahami matematika. Hal tersebut karena kecemasan tersebut dapat meningkat, bersifat subjektif pada setiap individu, dan mempengaruhi sulit atau tidaknya pemahaman. Ada
siswa yang dapat dengan mudah memahami ketika menerima suatu penjelasan, tetapi ada pula
siswa yang tidak. Jika siswa yang tidak mengerti tersebut merasa cemas maka mereka tidak akan ragu untuk berusaha
lebih keras untuk memahami.
Tetapi,
kecemasan yang berlebihan juga berdampak buruk pada diri mereka karena dapat mengurangi efektivitas dari usaha yang mereka
lakukan. Ketika kecemasan meningkat pada diri siswa maka siswa tersebut akan berusaha lebih
keras, tetapi pemahaman mereka justru semakin memburuk yang berakibat kecemasan mereka justru semakin meningkat. Terjadi terus-menerus hingga terbentuk “lingkaran setan”. Hal tersebut dapat terjadi dalam jangka pendek dan juga jangka panjang. Pengalaman tersebut dalam pelajaran matematika akan menjadi stimulus terhadap kecemasan. Oleh karena itulah siswa
belajar secara parsial. Hal tersebut akan membentuk pengalaman interpersonal siswa.
Kecemasan matematika banyak terjadi di kalangan siswa dan bahkan menjadi penentu
bagi pandangan mereka terhadap matematika ke depannya. Kecemasan siswa dalam
menghadapi matematika dikarenakan adanya beberapa faktor, yaitu faktor intelegensi, faktor di dalam diri siswa dan faktor lingkungan. Ellis (Alsa, 1984) mengatakan bahwa kecemasan pada
siswa disebabkan oleh adanya tingkat inteligensi yang berbeda pada diri siswa. Hal ini
dijelaskan oleh Zeidner (1998) kecemasan seseorang terhadap pelajaran matematika
dikarenakan kurangnya ketertarikan siswa terhadap pelajaran matematika. Kurangnya
ketertarikan siswa terhadap pelajaran matematika disebabkan oleh intelegensi siswa dalam
pelajaran matematika, siswa yang memiliki intelegensi tinggi akan cenderung lebih tertarik dan akan lebih evaluatif terhadap pelajaran matematika, sedangkan siswa yang memiliki intelegensi rendah akan kurang tertarik dan kurang evaluatif terhadap pelajaran matematika (Zeidner,
1998).
PEMBAHASAN
Pengertian Kecemasan
Salah satu bentuk perasaan seorang siswa ketika menghadapi ujian khususnya ujian matematika adalah terjadinya perasaan tidak mengenakkan atau merasa takut dan tegang. Beberapa siswa kadang menyikapi ujian sebagai suatu permasalahan dalam hidupnya, baik
karena nantinya ia akan malu karena tidak mendapat nilai yang bagus maupun karena merasa tidak percaya diri dengan persiapan yang dimilikinya. Perasaan takut atau tegang dalam menghadapi suatu persoalan tersebut disebut kecemasan.
Crow
dan Crow (dalam Hartanti, 1997) mengemukakan bahwa kecemasan adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan yang dialami oleh individu yang dapat mempengaruhi
keadaan fisiknya. Senada dengan yang dikemukakan oleh Crow dan Crow, menurut
Soehardjono (1988) kecemasan adalah manifestasi dari gejala-gejala atau gangguan fisiologi
seperti: gemetar, banyak keringat, mual, sakit kepala, sering buang air, palpitasi (debaran atau berdebar-debar).
Menurut Rathus (dalam Nawangsari, 2001) kecemasan didefinisikan sebagai keadaan psikologis yang ditandai oleh adanya tekanan, ketakutan, kegalauan dan ancaman yang berasal dari lingkungan. Sementara itu menurut Zakiyah Derajat (dalam Hartanti, 1997) kecemasan
adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur aduk, yang terjadi ketika individu sedang mengalami tekanan perasaan atau frustasi dan pertentangan batin atau konflik. Sedangkan menurut Nawangsari (2001) kecemasan adalah suatu kondisi yang tidak menyenangkan meliputi rasa takut, rasa tegang, khawatir, bingung, tidak suka yang sifatnya
subjektif dan timbul karena adanya perasaan tidak aman terhadap bahaya yang diduga akan terjadi.
Dari definisi tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kecemasan matematika merupakan bentuk perasaan seseorang baik berupa perasaan takut, tegang ataupun cemas dalam menghadapi persoalan matematika atau dalam melaksanakan pembelajaran matematika dengan berbagai bentuk gejala yang ditimbulkan. Orang yang memiliki kecemasan matematika
cenderung menganggap matematika sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Perasaan tersebut muncul karena beberapa faktor baik itu berasal dari pengalaman pribadi terkait dengan
guru atau ejekan teman karena tidak bisa menyelesaikan permasalahan matematika.
Gejala Kecemasan
Gejala kecemasan ada dalam bermacam-macam bentuk dan kompleksitasnya, namun biasanya cukup mudah dikenali. Seseorang yang mengalami kecemasan cenderung untuk terus
menerus merasa khawatir akan keadaan yang buruk yang akan menimpa dirinya atau diri orang lain yang dikenalnya dengan baik. Biasanya seseorang yang mengalami kecemasan cenderung
tidak sadar, mudah tersinggung, sering mengeluh, sulit berkonsentrasi dan mudah terganggu tidurnya atau mengalami kesulitan untuk tidur (Gunarsa dkk. dalam Leonard, 2008).
Penderita kecemasan sering mengalami gejala-gejala seperti berkeringat berlebihan
walaupun udara tidak panas dan bukan karena berolahraga, jantung berdegup ekstra cepat atau terlalu keras, dingin pada tangan atau kaki, mengalami gangguan pencernaan, merasa mulut
kering, merasa tenggorokan kering, tampak pucat, sering buang air kecil melebihi batas
kewajaran dan lain-lain. Mereka juga sering mengeluh pada persendian, kaku otot, cepat merasa lelah, tidak mampu rileks, sering terkejut, dan ada kalanya disertai gerakan-gerakan wajah atau anggota tubuh dengan intensitas dan frekuensi berlebihan, misalnya pada saat duduk terus
menerus, menggoyang-goyangkan kaki, meregangkan leher, mengernyitkan dahi dan lain-lain (Gunarsa
dkk. dalam Leonard, 2008).
Menurut Dacey (2000) dalam mengenali gejala kecemasan dapat ditinjau melalui tiga
komponen, yaitu:
1.
Komponen psikologis, berupa kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak aman, takut, cepat terkejut.
2. Komponen fisiologis, berupa jantung berdebar, keringat dingin pada telapak tangan, tekanan darah meninggi (mudah emosi), respon kulit terhadap aliran galvanis (sentuhan
dari luar) berkurang, gerakan peristaltik (gerakan berulang-ulang tanpa disadari) bertambah, gejala somatik atau fisik (otot), gejala somatik atau fisik (sensorik), gejala
Respiratori (pernafasan), gejala Gastrointertinal (pencernaan), gejala Urogenital (perkemihan dan kelamin).
3.
Komponen sosial, sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu di lingkungannya.
Perilaku itu dapat berupa tingkah laku (sikap) dan gangguan tidur.
Penyebab
Kecemasan
Jersild dari Ahli Konstitusi mengatakan bahwa kecemasan dipengaruhi oleh faktor konstitusi individu. Menurut Freud dari Ahli Psikoanalisis, kecemasan merupakan akibat dari hasil konflik antara dorongan instingtual yang ingin mencari kepuasan dengan kekuatan represi untuk menghambat dorongan yang muncul. Sementara itu Calvin S. Hall dari Ahli Kultural
mengatakan bahwa kecemasan dipandang sebagai ekspresi langsung dari pengaruh sosio-kultural. Mowrer dari Ahli Teori Belajar mengatakan kecemasan dipengaruhi oleh pola belajar “Conditioning” dengan adaptasi yang salah serta didasarkan pada pembentukkan “Conditioned Reflex”. Jersild dari Ahli Konstitusi (ahli yang meneliti tentang sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap individu), Freud dari Ahli Psikoanalisis, Calvin S. Hall dari Ahli Kultural dan Mowrer dari Ahli Teori Belajar bersepakat untuk menggabungkan pendapat masing-masing, menjadi
dua
faktor yang mempengaruhi kecemasan (dalam Soeharjono, 1988), yaitu:
1. Mikrokosmos (keadaan diri individu)
a. Sifat dasar konstitusi individu sejak lahir yang meliputi: emosi, tingkah laku, dan proses
berpikir individu.
b. Keadaan biologi
individu seperti jenis kelamin.
c. Perkembangan individu yang dapat dilihat dari usia individu. 2. Makrokosmos (keadaan lingkungan)
a. Orang tua atau keluarga dirumah.
b. Sekolah (kelas), tetangga, teman-teman.
c. Masyarakat, meliputi: keadaan sosial, budaya, lingkungan agama, dan sebagainya. Adapun beberapa hal yang menyebabkan ketakutan anak terhadap matematika diantaranya:
1.
Matematika sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah merupakan cabang ilmu yang
spesifik. Objek matematika adalah fakta, proses, prinsip, dan konsep yang semuanya
berperan dalam proses berpikir matematis dengan salah satu cirinya yaitu adanya penalaran yang logis. Berbeda dengan mata pelajaran lainnya oleh sebab itu matematika dianggap relatif sulit karena diperlukan konsistensi
dalam pengerjaannya.
2.
Persepsi yang berkembang di tengah masyarakat bahwa matematika itu sulit telah
terkooptasi
sebagian pikiran anak.
3.
Pelajaran matematika yang monoton, guru cenderung represif membuat anak tertekan.
Anak cenderung menutup diri kurang dapat mengolaborasi dan mengekspresikan dirinya dalam pembelajaran.
4.
Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik dalam pelajaran matematika oleh orang tua
dan guru. Hal ini menyebabkan anak hanya berorientasi pada hasil dan nilai saja bukan proses pembelajaran itu sendiri. Ketika seorang anak mendapat nilai yang jelek, dia
menjadi tertekan dan menganggap dirinya bodoh.
Menurut Skemp (1971:
129-131), salah satu sebab utama kecemasan siswa adalah otoritas guru. Perlu diingat bahwa setiap kali skema yang diperlukan dalam pemahaman tidak hadir dan tersedia dalam pikiran siswa, apapun pembelajaran yang terjadi hanya didasarkan atas apa yang siswa terima dari otoritas guru. Belajar dengan cara tersebut adalah rote-learning
(hafalan) bukan schematic-learning (secara skema). Pembelajaran tersebut mungkin tidak akan diawali dengan kecemasan siswa. Masalahnya adalah sulit membedakan antara anak yang
cerdas dan anak yang mau/bisa menghafal banyak proses dasar matematika dengan baik dibanding berdasarkan pemahaman. Cepat atau lambat akan terjadi kecemasan pada siswa. Hal
tersebut dapat
terjadi karena dua hal, yaitu:
1.
Ilmu matematika yang dipelajari semakin maju dan kompleks yang tidak mungkin dapat dihafalkan dengan memori yang dimiliki siswa.
2.
Masalah rutin terbatas pada masalah-masalah tertentu dan tidak dapat diadaptasikan ke
masalah lain yang berbeda berdasarkan ide-ide matematika yang sama.
Oleh karena itu, pembelajaran skematik lebih cocok digunakan karena memudahkan siswa untuk beradaptasi dan mengurangi beban siswa dalam pemenuhan memori yang digunakannya untuk mengingat/menghafal. Pendekatan hafalan yang dilakukan siswa ataupun
guru hanya menghasilkan efek jangka pendek dan tidak ada retensi (ingatan) jangka panjang.
Kemajuan yang terhenti menyebabkan adanya kecemasan dan hilangnya kepercayaan diri.
5. READ your math text.
6. Study
math according to YOUR LEARNING STYLE. 7. Get help the same day you
don’t understand.
8. Be relaxed and
comfortable while studying
math. 9. “TALK” mathematics.
10. Develop responsibility for your own successes and failures. (Freedman,
2012)
Dari uraian pendapat di
atas, beberapa hal ini mungkin dapat meminimalkan kecemasan matematika, yaitu:
1.
Memberikan penjelasan rasional pada siswanya mengapa mereka harus belajar matematika;
2. Menanamkan rasa percaya diri terhadap siswa bahwa mereka bisa belajar matematika, guru dapat memberikan latihan-latihan soal yang relatif mudah sehingga mereka bisa
mengerjakan soal-soal
tersebut;
3.
Menghilangkan prasangka negatif terhadap matematika, dengan cara memberikan contoh-contoh yang sederhana sampai dengan yang kompleks tentang kegunaan matematika;
4.
Membelajarkan matematika dengan berbagai metode yang bisa mengakomodir berbagai model belajar siswa;
5.
Tidak mengutamakan hafalan dalam pembelajaran matematika;
6.
Pada saat pembelajaran matematika, jadikan kelas matematika menjadi kelas yang
menyenangkan dan nyaman;
7.
Pada saat bertemu dengan siswa di manapun, jangan segan-segan untuk menyisipkan pembicaraan yang menyangkut tentang pembelajaran matematika kepada mereka;
8.
Menanamkan rasa tanggung jawab kepada siswa untuk memutuskan kesuksesan mereka.
KESIMPULAN
Tingkat optimal motivasi untuk suatu tugas yang diberikan akan sangat bergantung pada individu dan tugas itu sendiri. Tugas yang kompleks untuk seseorang bisa jadi relatif mudah bagi orang lain. Siswa yang merasa kurang cemas karena siswa tersebut mengetahui
bahwa ia mampu mengatasi masalah yang dihadapi maka ia akan dapat menggunakan kecemasaannya dalam menyelesaikan masalah. Kecemasan dapat menjadi stimulus yang berguna. Oleh karena itulah, tugas seorang guru untuk mengarahkan kecemasan tersebut menjadi hal
yang positif.
DAFTAR PUSTAKA
Alsa, A. 1984. Usia Mental, Jenis Kelamin, dan Prestasi Belajar Matematika. Jurnal Psikologi
Pendidikan,
12, 1, 22-29.
Dacey, J.S. 2000. Your
Anxious Child:
How Parents and Teachers
can Relieve Anxiety
in Children.
San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Freedman, Ellen, 2012. Do You Have Math Anxiety? A Self Test, dalam
www.mathpower.com/anxtest.htm.

Yogyakarta, 9 November 2013
Journal of the
Scholarship of Teaching and
Learning, Vol. 10, No. 2, June 2010, pp. 78
– 89.
2.
A case study
of cooperative learning and communication pedagogy: Does
working in
teams
make
a difference?
Mina Tsay1 and
Miranda Brady2
Abstract: Cooperative learning has increasingly become a popular form of active pedagogy employed in academic institutions. This case study explores the
relationship between cooperative learning and academic performance
in higher education, specifically in the field of communication. Findings from a
questionnaire administered to undergraduate
students in a
communication research course indicate that involvement in cooperative learning is a
strong predictor of a
student’s academic performance. A
significant positive relationship was found between the degree to which grades are important to
a student
and his or her active participation in
cooperative learning. Further, the importance
of grades and sense of achievement are strong predictors of performance
on readiness assessment tests.
Keywords: cooperative learning, active learning, team-based learning, group
achievement, communication pedagogy.
I. Introduction.
One of the greatest and inevitable challenges educators face is determining the most effective teaching strategies for their students. Understanding and assessing student involvement in learning can help teachers design the most effective curriculum and determine how students best learn. In addition, instructors must consider which skills will be most practical for students entering a workforce where building relationships and productivity
go hand-in-hand. To meet the demand, many educators are
using
active learning pedagogies, such
as cooperative or
team-based learning. Active learning in the context
of higher education
is often a social and informal process
where ideas are casually exchanged
through student involvement and intellectual and interpersonal activities (Menges and Weimer, 1996). Bonwell and Eison (1991) conceptualize
active learning as a process involving students not only “doing” things, but analyzing what they are
doing.
Cooperative learning is one of the most commonly used forms of active pedagogy.
Taking place through an individual’s interaction with his or her environment and peers,
cooperative learning is largely based on the idea that students learn through social contexts (Adams and Hamm, 1994). While cooperative learning has been found to be an effective pedagogical tool in a broad range of subjects, limited
research explores this form of active pedagogy as it pertains to higher education, and specifically the communication field. This study contributes to ongoing
research in active learning pedagogy
through a case study examining therelationship between student involvement in cooperative learning and academic
achievement in an undergraduate
communication research methods course.
II. Background.
A. Benefits of Cooperative
Learning.
Cooperative learning became a commonly
used form of active pedagogy
in the 1980’s, and continues to be a valuable
tool for learning in academic
institutions today (Johnson, Johnson, and Smith, 2007), as it provides benefits for both students and instructors (Shimazoe and Aldrich,
2010).
Slavin (1996) described cooperative learning as teaching
methods in which students work together in small groups to help one another learn academic content.
Johnson, Johnson, and
Smith
(1991) outlined several central elements comprising cooperative learning including positive interdependence,
individual accountability, face-to-face promotive interaction,
appropriate
use of collaborative skills, and group processing, as will be discussed further. Studies on cooperative learning have indicated its positive relationship with student achievement and attitudes about learning (Slavin, 1989;
Johnson and Johnson, 1989; Johnson et al., 2007). Cooperative
learning has also
been found to enhance social and intellectual
development (Cohen, 1984; Burton, 1987) and help students build interpersonal skills while promoting a sense of achievement, productivity, and psychological well-being (Nilson, 1998). Further, researchers
reported, “…students worked significantly harder for and learned more from the cooperative
learning components than from the traditional lecture and text-based components” of courses studied
(Carlsmith and Cooper, 2002, p. 132).
One
possible explanation for cooperative learning’s success is that effective learning
often
occurs through an individual’s interaction with his or her environment, and language
is the means by which learning and meaning
are made conscious to the student. Interaction with others
enables students to make sense of what they are learning as they become responsible for articulating and discussing class content
with their peers (Adams and Hamm, 1994). Rushatz
(1992) suggested that, “Cooperative learning strategies strive to create group situations that will foster support and feedback systems while developing decision making,
problem solving, and
moreover, general social interaction skills” (p. 5). Webb (1985) found that students exhibited signs of higher understanding when they were responsible for teaching
concepts to their classmates and when their classmates taught concepts to them. Moreover, group members were more inclined to help other members learn concepts when the entire group’s grade depended
on each student’s understanding of the subject. Team-based learning also provides opportunities for discussion and clarification of ideas (Gokhale,
1995). Interaction with peers offers students the chance to learn from one another’s scholarship, skills, and experiences. Further, group
discussions may force students to confront counter-arguments, encourage them to think beyond their own perspectives, and help improve respect for diversity (Cooper, Robinson, and McKinney, 1993; Slavin, 1983).
Several decades of empirical research have documented the effectiveness of cooperative
learning in higher education. Johnson and Johnson (1986) found that cooperative teams achieve greater levels of thought and retain information longer than students who work on an individual
basis. This form of active learning provides students with the opportunity to not only engage in
discussion, but also become critical thinkers (Totten, Sills, Digby, and Russ, 1991). Totten et al.
(1991) provided support that cooperative learning not only helps achieve higher retention, but
also encouraged students to become more motivated to take greater responsibility for their own
learning and participate in class discussions. Similarly, Gokhale (1995) examined
the efficacy of team-based learning on test achievement at the collegiate level, and findings indicated that students who studied in a group performed better on tests. In addition,
those who worked in
teams
scored higher on a test assessing critical thinking
when compared with students who studied
individually.
B. Elements of Cooperative Learning.
Johnson, Johnson, and Smith (1991) suggested that cooperative learning is more than simply “working in groups,” and should include
the following: 1) positive interdependence where team
members are reliant on one another to achieve a common goal, and the entire group suffers the consequences if one member fails to do his or her work; 2) individual accountability where each
member
of the group is held accountable for doing his or her share of the work; 3) face-to-face promotive interaction where, although some of the group work may be done on an individual basis, most of the tasks are performed through an interactive process in which each group member provides feedback, challenges one another, and teaches and encourages his or her group mates; 4) appropriate use of collaborative skills where students are provided with the opportunity to
develop and implement
trust-building, leadership, decision-making, communication, and conflict management skills; and 5) group processing in which team members establish group
goals,
the assessment of their performance as a team occurs periodically,
and they often identify
changes that need to be made in order for
the group to function more effectively.
According to Johnson and Ahlgren (1976) and Johnson et al. (2007), group dynamics play an important role in effective collaboration, and positive interdependence
or cooperation is
key to a group’s ability to accomplish a common goal, while “competitively structured groups” can be a hindrance. “Positive
interdependence exists when individuals perceive that they can
reach
their goals if and only if the other individuals with whom they are cooperatively linked also reach their goals and, therefore, promote each other’s efforts to achieve the goals” (Johnson
et al., 2007, p. 16). However, as Onwuegbuzie,
Collins, and Jiao (2009) point
out, individual accountability is key to the success of the overall group and helps to prevent “social loafing,” or
reduced individual effort
resulting
from too much dependence on other group
members (p. 272).
C. Feedback, Evaluation,
and Motivational Systems.
Reward structures, evaluation, and feedback are also important in guiding individual and group performance in the classroom and can help to gauge whether progress is actually being made
through cooperative learning. Meyers (1997) suggested that many different forms of assessment should be implemented into small group activities, including the evaluation of presentations,
assignments, and projects. Feedback from both the instructor as well as immediate feedback
from
the group are important forms of evaluation (Rushatz, 1992; Webb, 1985). However, Carlsmith and Cooper (2002) argued that the effectiveness of peer review may be limited if a sense of competition is held by students toward one another and adversely affects honest feedback. Additionally, students may hold the fear that their peers will find out how they rated them.
To counter such a fear, removing students from their groups when filling out peer reviews likely
elicits more honest responses. Another factor, which may dissuade competition and promote cooperation, is to use a “criterion-referenced grading system” to evaluate
group work rather than grading
on a curve (Nilson, 1998).
D. An Integrated Approach.
Interactivity among students and teacher-student interactions are still integral to the classroom environment, particularly for feedback and guidance (Astin, 1993). The shift of the responsibility
of learning onto the student can be an adjustment in the classroom, especially when students no longer see teachers as authority figures (Johnson et al., 1991;
Nilson, 1998; Rhem,
1992). As Nilson (1998) states, “Introducing greater cooperation in the classroom requires role shifts for both students and instructors” (p. 110). With this new dynamic,
instructors who may be more
accustomed to the “banking” system of education (Freire, 1970), must adjust to the idea of relinquishing some control, while maintaining control over the direction of their students’
learning. In light of the discomfort that may result from shifting more learning responsibility
onto the student, it is important for instructors to know that they can assume a successful
integrated approach by combining cooperative learning and other established teaching strategies
(Millis,
1990; Treisman, 1986).
E. Research Question
and Hypotheses.
Although a great deal of work has explored active learning pedagogy
in a variety of disciplines, this study specifically explores the efficacy of cooperative learning in the communication field.
Examining how cooperative learning relates to student performance in a college
level communication course raised
the research question:
RQ: What is the relationship between student involvement in cooperative learning and academic performance in a
communication research methods
course?
Prior research on active learning has supported the effectiveness of cooperative learning on test achievement (e.g., Felder and Brent, 1994). Findings on team-based learning suggest that this pedagogical method
is successful in promoting both problem-solving and critical-thinking
skills. Students who perceive grades as important in a class are also expected
to perform better academically than those who attribute less importance to grades. Further, an essential element of cooperative learning is one’s contribution to help achieve the group’s goal (Johnson et al., 1991;
2007).
This form of active pedagogy is centered on the notion
of teamwork and group
orientation, interdependence, and success. Those who view accomplishment and the attainment
of satisfaction through the group are predicted to be greater participants in the cooperative learning
process.
For
these reasons,
the following hypotheses are
tested:
H1: Student
involvement in cooperative learning is
positively
associated with academic performance.
H2: The importance of grades
to a student is positively associated with
academic performance.
H3: The importance of group success to a student
is positively
associated with involvement in cooperative
learning.
III. Method.
A. Participants.
Twenty-four undergraduate students in a communication research course were recruited at a
large
Northeastern University, with implied
consent obtained prior to their participation
in the study. The objective
of the course was to introduce to students social science research methods employed
in the field of communication, including surveys, experiments, and content analysis. The sample was comprised of 40.2% males and 59.8% females, with ages ranging from 18 to 22
years
(M = 19.23, SD = 0.97). Participants consisted of 87.5% Whites, 5.5% Asians, 3.2% African Americans, 2.1% Hispanics, 1.2% American Indians, and 2.5% with no indication of race.
B. Procedure.
At the start of the semester, the instructor designated groups comprised of four to six students for the purpose of completing a class research project and a series of readiness assessment tests (RATs). These groups remained consistent throughout the semester. On the day that the survey was administered, all 24 students who were enrolled in the course were required to sit with their assigned group members upon arrival. Each member in a group was assigned a number code and required to write down the codes of their group members on a separate piece
of paper for reference. Students were then asked to disperse themselves in the classroom and sit apart from
their
group members. Each student individually completed a set of questions, which evaluated
each group member’s performance in a series of group exercises. Participants were told that responses would remain confidential
and would not be shown to the instructor or their peers.
After
completion of questionnaires, all surveys
were
turned
in to the researchers, and the students were instructed to discard the sheets listing the student codes to assure the anonymity of their
group members.
C. Measures.
Participation in cooperative learning and student perception of learning. The independent variable in this study was involvement in cooperative learning. One of the primary requirements for the research methods course entailed
student cooperation in groups on a
research project throughout the semester. Over the course of four months, students were expected
to complete a variety of research exercises related to their project during and outside of class in order to accomplish the following tasks: propose research questions, design a methodology to answer these questions, collect and analyze data, and discuss findings and conclusions. Based on the focus of group work in the course, the survey consisted of 13 items
assessing a student’s active
participation in cooperative learning. Responses were made on a Likert-percentage scale from 0(never) to 100(always). Based on the literature and the elements that Johnson et al. (1991) suggested to take place in the cooperative learning process, this study
assessed cooperative learning as it is comprised of seven components: group processing,
motivation, competition, dependability, accountability, interactivity,
and use of collaborative skills. Group processing was measured by a student’s ability to help accomplish a group’s goal and
provide constructive feedback to others in the group. Motivation was measured by a
student’s desire to take part in the group activity. Competition was assessed by how much the student cared about doing better than other students. Dependability was measured by the degree
to which others depend on a student and vice versa to help achieve the group’s goal. In addition, it incorporates the extent to which a group member comes to class prepared for the activity. Accountability was assessed by the extent to which a student does his or her share of the group
work and if he or she appears to have learned all of the material involved
in the project. Interactivity was measured by the degree to which a group member cooperates with others in a team,
the extent to which the group and the student learn from each other, and how much one
contributes his or her ideas to the group. Lastly, the use of collaborative skills was assessed by
one’s
contribution of his or her skills to the group. In addition to measuring students’
involvement in cooperative learning, the importance of four factors was also assessed: the degree
to which sense of achievement, grades, peer acceptance, and group success are important to the
student. Responses were made on a Likert-scale from 1(not
important) to 7(very important).
Academic performance. The dependent variable in this study was academic
performance. Academic performance was assessed by the student’s individual scores on a series of RATs, group scores on RATs, and final grade in the class. Tests were scored and provided by the
instructor of
the course.
RATs. RATs are short, closed-book quizzes consisting of about 12 multiple-choice
questions on a particular topic covered in class. Assigned readings from the textbook
and a study guide are provided to students before the topic is covered. Quizzes are administered at the beginning of class and a total of six quizzes are given throughout a four-month period or semester. The quizzes are first taken individually and turned into the instructor. Then, students complete
the same quiz with their assigned group members. After taking the quiz as a group, the
answer
sheet
is turned into the instructor
and graded. Each group will be given
up to five minutes
to appeal for incorrect answers. If the instructor accepts the appeal, both the group and individual
scores will
be changed accordingly.
Final grade. The student’s final grade in the class was calculated as follows: individual RATs, group RATs, a final project, mid-semester assignments related to the project, and in-class
exercises, each accounting for 20% of
the final course grade.
IV. Results.
Based on the conceptual definition of cooperative learning and the grouping of the seven components previously discussed (group processing, motivation, competition, dependability,
accountability, interactivity,
and use of collaborative skills), the 13 items measuring involvement
in cooperative learning were subjected to a reliability analysis. One item, which measured the
degree
to which the particular group member depended on the peer evaluator to accomplish the
group
goal, was excluded from further analysis because it was not internally consistent with the
other items. Therefore, a mean
index of the 12 items was constructed to
represent the
cooperative learning score for each student (Cronbach’s a = 0.98). Academic performance had three separate
components: individual performance on the six RATs (M = 77.61, SD = 1.08), group performance on the six RATs (M = 92.94, SD = 0.88), and final course grade (M = 87.79, SD = 1.56).
Bivariate correlations were employed
to test the relationship between involvement in cooperative learning and academic performance. Significant positive relationships were found between student involvement in cooperative learning and each of the three components assessing academic performance, supporting the first hypothesis (see Table 1). Findings indicate that the
more
actively a student participated in cooperative learning, the higher a student scored on average
on individual and group RATs
and their final course grade.
Another set of analysis examined the level of importance of sense of achievement,
grades, peer acceptance, and group success to a student in class. Bivariate correlations were performed to determine the relationships between these variables and involvement in cooperative learning and academic performance (see Table 2). Results indicated significant positive relationships between the importance of grades and involvement in cooperative learning, as well as that with academic
performance on individual RATs and final course evaluation, showing support for the
second hypothesis. The importance of
sense of achievement was also a significant predictor of a student’s individual performance on RATs. However, no significant relationship was found between the importance of group success and involvement in cooperative learning, showing no support for the third
hypothesis.
A regression analysis was carried out to examine the relationship between a student’s involvement in cooperative learning and a separate in-class peer evaluation
administered by the instructor. The peer evaluation was conducted on the last day of class and required students to provide
written open-ended evaluations about the ways in which each member, including himself or herself, contributed to the final group project. Students also indicated the percentage of contribution for each group member. Based on these percentage contributions, the instructor of
the course scored each individual on a Likert-scale from 1(low) to 10(high) in terms of
participation. Findings showed that a positive and significant relationship existed between student
involvement in cooperative learning
and peer evaluations (β = 0.26, p = 0.01).
In summary, results from the analyses suggest that involvement in cooperative learning is a strong predictor of a student’s academic performance in class. A significant relationship was also found between the degree to which grades are important to a student and his or her active participation in cooperative learning for group exercises. Furthermore, the importance of grades
yielded as a strong predictor
of individual performance on RATs
and higher final course grades.
V. Discussion.
The
purpose of this case study was to examine the relationship between cooperative learning and
academic performance pertaining to higher education in the field of communication. The empirical analysis provided considerable support that active participation
in team-based learning
has a positive relationship with a student’s academic performance. Overall, students who were
heavy participants in group exercises exhibiting behaviors, such as helping
to accomplish the
group’s goal, coming to class prepared, providing constructive feedback to their peers, and cooperating with their team, had a higher likelihood of receiving better test scores and final
course
grades at the end of the semester. In other terms, students who were more engaged
in group work also performed well outside of their groups, which was reflective of higher
individual test scores and course evaluations. Moreover, the perception of grades holds significant weight in the degree to which a student participates in the cooperative learning process. Students who perceived grades as highly important were evaluated by their peers to be more active in cooperative learning, including
wanting to take part in the group task, completing his or her share of the work, learning materials involved in the exercise, and verbally
contributing ideas to the team.
Results from the study support the notion
that cooperative learning is indeed an active
pedagogy that works to foster higher academic achievement. Findings suggest that grades and group success hold greater importance to students than peer acceptance and sense of
achievement, despite literature indicating the weight of interdependency
on group success
(Johnson et al., 1991). Grades may be a strong extrinsic motivator for students, and thus their level of importance may have been a predictor of how much effort students put in to learning
their
course materials or preparing for assessment tests. Furthermore, their perception of grades may encourage them to participate
more in group exercises since they are driven by the
attainment of the final group score, as it greatly affects individual scores. In this particular communication course, group exercise grades can only help a student’s final course grade. Thus, viewing group opportunities as a form of extra credit and the group RAT scores as a reflection of the success of the team were potential factors that could have encouraged students to be more active participants in cooperative
learning.
The
data also provide support that the degree to which a student’s sense of achievement was important to himself or herself predicted test performance on an individual basis. Sense of
achievement is the feeling or awareness of personal accomplishment and success. Thus, it is logical that students who view this aspect of learning to be important may perform better on tests in accordance
with Slavin’s (1978) description of
rewards structures.
Although an extensive body of research confirms the effectiveness of cooperative learning in higher education (Astin, 1993; Cooper, Prescott, Cook, Smith, and Cuseo, 1990),
cooperative learning has several limitations. Instructors are often confronted with resistance and hostility from students who believe they are being held back by slower teammates (Shimazoe and Aldrich, 2010). In addition, such negative
reactions come from the other side where weaker and less assertive students complain of being belittled or ignored by more responsive students.
This
study did not examine
the factors that could potentially hinder student participation in cooperative learning. The desire to take part in a task and the significance of achievement and grades to students may only be limited factors that affect the degree to which a student is active in
a group setting. The omission of additional variables in this study may explain why the predicted relationship between the importance of group success and involvement in cooperative learning
was
not significant.
As discussed, a limitation of using peer reviews is that students may feel a sense of
competition toward one another, which could affect their evaluations. By moving students away
from
their groups while evaluating participation and by assuring them that the instructor and other students would not see the reviews, this study attempted
to discourage a sense of
competition and make students feel that their answers were confidential.
Another limitation was
that the questionnaire was administered to a small convenience sample comprised of a relatively
homogenous group of undergraduate students. It is important to acknowledge that this research
serves as a case study to examine the efficacy of cooperative learning in a communication
research methods course. Therefore, the findings presented should be interpreted with caution in terms of generalizing them to a larger population or another culture. Future research may consider applying the same methods to study other research methods courses, as well as classes that require the same or greater demands of group work. Moreover, this study was a cross-sectional survey designed specifically to study associations between academic
performance and cooperative learning rather than to draw conclusions about the effects of cooperative learning. However, despite the fact that the present research is not an experimental study, findings do indicate a positive relationship between active
participation in cooperative learning and academic
performance.
The
relationships observed in this study apply to team-based learning in the communication discipline. This research examined
the relationship between involvement in cooperative learning and academic performance and how factors, such as perceptions of grades and sense of achievement, are predictors of a student’s performance in class. However, future research may explore other variables, including prior background and success in active pedagogy, student learning preferences, and interpersonal relationships among peers, which may play
an integral role in the process of cooperative learning. In addition, variations in
demographic factors, such as socioeconomic status, race, and gender, were not examined
in the study and may influence the degree of active group involvement, familiarity, and comfort level
with team members.
Other research opportunities exist in exploring how cooperative learning has progressed
over
the past decades. With an increasing trend of students pursuing higher education, the
question remains whether this form of active pedagogy
is better suited and appropriate for smaller classes. Or, do larger lecture-oriented classes adequately provide students with the
comprehensive benefits of enhancing
their critical thinking
and analytical skills? Furthermore, is
it possible to implement active
pedagogy in classes that are hundreds of students in size, exist completely online, or are hybrids delivered via face-to-face and computer-mediated-communication? Changes in higher education across disciplines may encourage modifications in the way professors select and implement their teaching
strategies. With the rise in new digital media technologies and Web 2.0, smart classrooms
equipped with online capabilities, and the use of course management tools and social media outlets (e.g., Wikis and Facebook), cooperative
learning is in the process of being reconceptualized as a pedagogical concept. With the growing
number
of students in colleges and universities, it is necessary to examine the role cooperative learning plays in today’s transforming academic institutions and the direction it will take in
higher education in the future.
Acknowledgements
The authors would like to thank Dr. Anne M. Hoag and Dr. Srividya Ramasubramanian, as well
as the editor and blind reviewers of the Journal of the Scholarship of
Teaching and
Learning for their
support
and feedback on various
stages
of this
study.
References
Adams, D.
M., and Hamm, M. (1994).
New designs for
teaching and learning.
San Francisco, CA:
Jossey-Bass
Inc.
Astin, A. W. (1993). Assessment for excellence: The philosophy and practice
of assessment and evaluation in
higher education. New York,
NY: Oryx
Press.
Bonwell, C. C., and
Eison, J. A. (1991).
Active learning: Creating
excitement in the classroom. ASHE-ERIC
Higher
Education Reports. Washington, DC: The George Washington
University,
School of Education and Human Development.
Burton, C. B. (1987).
Problems in children’s peer
relationships: A broadening
perspective. In L. G. Katz (Eds.), Current topics in early
childhood education (Vol.
4). Norwood, NJ:
Ablex
Tidak ada komentar:
Posting Komentar